Bibit Separatisme Harus Ditumpas Habis

Oleh: Atik Hermawati



KKB Papua kembali berulah. Kini mereka membantai delapan pekerja PT Palapa Timur Telematika (PTT) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua pada Sabtu (05/03/2022). NS yang berhasil selamat dari penyerangan tersebut, menerangkan bahwa para pelaku diperkirakan 10 orang serta sebagian besar membawa parang dan senjata api. Para korban tewas ketika sedang memperbaiki Tower Base Transceiver Station (BTS) 3 Telkomsel di ketinggian dan belum terdapat akses jalan darat. NS berhasil kabur dan meminta bantuan penyelamatan di Tower BTS 3.


OPM atau KKB Papua telah mengacaukan keamanan dan meneror masyarakat. Masih ingat kasus tewasnya Kepala BIN daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny pada April tahun lalu, telah menjadi awal perbincangan bahwa kelompok ini layak disebut "teroris" setelah puluhan tahun beraksi. Meskipun KKB itu sendiri tak rela digelari itu dan mengajak berunding melalui pendekatan humanis. Mengapa hingga saat ini belum menemukan solusi?



Krisis Papua dan Rayuan Barat

Teror KKB Papua yang berawal dari Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP). Konflik berkepanjangan selama puluhan tahun ini dikatakan Direktur Eksekutif ULMWP, Markus Haluk sebagai perjuangan kemanusiaan dan menentang kejahatan politik rasialisme sistemik.


Upaya separatis Papua tak lepas dari faktor ketidakadilan masyarakat Papua di sana, yakni pelanggaran hak-hak masyarakat, penindasan, dan minimnya kesejahteraan yang memicu strategi referendum dalam menentukan nasib sendiri melalui PBB layaknya Timor Timur dahulu. Freeport yang terpampang sama sekali tak menaikkan angka kesejahteraan di sana dan pemerintah dengan leluasa membiarkan liberalisasi SDA tanpa memikirkan nasib mereka.


Bibit separatisme Papua tidak ditangani sejak dini. Menyematkan label "teroris" pun membutuhkan waktu yang panjang, meskipun sudah nyata tindakan teror mereka. Sebaliknya untuk gerakan Islam yang melakukan amar makruf nahi munkar dengan mengkritisi kebijakan zalim penguasa, dengan mudah disematkan radikal bahkan teroris. 


Liberalisasi SDA oleh pihak asing dibiarkan dengan mudahnya bahkan semakin masif. Keinginan sejahtera Papua tak pernah diupayakan dengan serius, mereka mengalami ketertinggalan dari provinsi lainnya. Bahkan bukan hanya masyarakat di sana, seluruh SDA hanya dinikmati oleh oligarki kapital. Sehingga upaya memisahkan diri dari negara, dianggap jalan pintas saat negara tak peduli lagi.


Inggris dan AS yang mempunyai kepentingan di sana bertindak bak pahlawan yang menawarkan kemerdekaan. Juga melalui Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (WAoRC), menggerakkan peran gereja Papua untuk ikut menyukseskan gerakan separatis ini. Pemisahan ini menjadi salah satu target utama Dephan AS sejak 1998 rekomendasi Rand Corporation untuk membagi wilayah Indonesia ke dalam 8 bagian, sejak Bill Clinton berkuasa. Padahal mereka juga yang melakukan penjarahan di bumi Pertiwi ini.


Kapitalisme telah nyata menyengsarakan manusia, bukan hanya Papua. Kemerdekaan semu yang ditawarkan penjajah tak lain jebakan semata. Semakin terkotak-kotak, negeri ini semakin mudah dicengkeram. Kesenjangan sosial begitu nyata, kekayaan alam yang melimpah hanya dirasakan segelintir orang saja. Separatisme tidak bisa dicegah, karena semua itu rekayasanya pula untuk menjajah.



Islam, Solusi Hakiki Papua

Kesejahteraan Papua hanya akan didapatkan dari sistem Islam yang menerapkan syariat secara kaffah yakni Khilafah. Liberalisasi SDA oleh asing diharamkan. Negara mengelola mandiri dan dialokasikan untuk kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan semua masyarakatnya. Khalifah yang dipilih ialah sosok yang amanah dan taat pada Allah SWT, bukan pada asing-aseng. Rasulullah saw. bersabda,
"Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR. Al Bukhari)


Jaminan Khilafah tak memandang suku maupun agama, melainkan semua umat di bawah naungannya. Belum lagi pemasukan kas Baitulmal lainnya seperti fa'i, kharaj, ghanimah, dan lainnya. Tidak ada kesenjangan sosial yang menyengsarakan. Mulai dari korupsi hingga intervensi asing tidak diberikan celah sama sekali. 


Khilafah menjaga setiap jengkal wilayahnya dari penjajah. Keamanan dalam negeri dijaga dari para pelaku bughat, yakni yang ingin melepaskan diri dari negara baik dengan aktivitas pengrusakan, penyerangan, dan penghancuran kepemilikan individu-umum-negara, pendudukan berbagai tempat strategis negara, ataupun yang keluar menentang negara menggunakan senjata.


Negara mengatasi pelaku bughat dalam rangka mendidik agar bertobat, bukan menghancurkan. Sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. terhadap kaum Khawarij. Beliau menyeru terlebih dahulu sebelum memerangi.
Dalam kitab Ajhizah Ad Daulah Al Khilafah dijelaskan bahwa pelaku bughat terlebih dahulu dilakukan surat-menyurat dan diminta untuk kembali masuk dalam masyarakat Daulah serta berhenti mengangkat senjata. Namun apabila mereka bersikeras dan tetap ingin keluar menentang negara maka ada dua sikap, yaitu:


Apabila perbuatan mereka tidak bersenjata seperti sebatas demonstrasi, menimbulkan kekacauan, pengrusakan dan penghancuran kepemilikan individu-negara-umum, serta pendudukan tempat-tempat strategis, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri membatasi diri dengan hanya memanfaatkan satuan kepolisian untuk menghentikannya. Jika tidak bisa, maka meminta kepada Khalifah agar mendukungnya dengan kekuatan militer.


Selanjutnya apabila pelaku bughat yang keluar menentang negara, mengangkat senjata, dan bertahan di suatu tempat tertentu dengan kekuatan yang besar, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri meminta bantuan Khalifah dengan kekuatan militer dan pasukan sesuai kebutuhan. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak