Wadas dan Wajah Buruk Kepemimpinan Demokrasi



Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)

Warga Wadas menolak rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Bendungan yang menjadi salah satu proyek strategis nasional itu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 590/41/2018, Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.

Pembangunan yang cenderung tak menghiraukan kelestarian alam, memang sudah jadi fenomena di masyarakat. Bahkan tak jarang penguasa menggunakan kekuatan aparat untuk menertibkan warga yang dianggap berulah.
"Menjelang tengah hari, aparat kepolisian yang berjumlah sekitar 400 orang datang dan memaksa masuk ke Desa Wadas, demikian kesaksian warga. Kericuhan terjadi setelah aparat kepolisian menembakan gas air mata dan membubarkan aksi Wadon Wadas menutup jalan. Sembilan orang mengalami luka-luka dan 11 lainnya ditangkap, termasuk Julian dari LBH Yogyakarta yang menjadi pengacara warga Wadas.

Penangkapan terhadap 66 warga yang dianggap menghalangi kegiatan pengukuran tanah menunjukkan gaya kepemimpinan demokrasi yang merepresi terhadap rakyat dengan mengatasnamakan kepentingan pembangunan. Pendekatan represi ini cenderung dilakukan karena banyak keputusan diambil bukan berdasarkan kepentingan rakyat tetapi kemauan segelintir pihak, hingga adu argumen bukan lagi menjadi pilihan.

Di dunia internasional sendiri, manfaat bendungan mulai dipertanyakan karena ongkos pembangunan dan pemeliharaan yang sangat mahal, merusak lingkungan dan kehidupan sosial, koruptif, umur bangunan lebih pendek dan tak sesuai tujuan awal, karena dampak perubahan iklim, dan hanya menguntungkan para kontraktor.

Paul Brown, seorang Jurnalis lingkungan dalam reportase berjudul "The Unacceptable Cost of Big Dams" Di The Guardian edisi Jumat, 17 November 2000 menyuarakan dampak negatif dari bendungan besar.
Mengutip pernyataan Komisi Dunia untuk Bendungan sekira 45.000 bendungan di seluruh dunia mempunyai dampak merugikan sangat besar, merugikan kelompok miskin dan gagal memberi pasokan listrik, serta irigasi seperti yang direncanakan.

Oleh karena itu, selama kepemimpinan penguasa masih dipengaruhi gaya kapitalis demokrasi, selama itu pulalah rakyat terus menanggung kerugian demi kerugian, alam mengalami kerusakan demi kerusakan. Dimana hal ini sangat berbeda jika kepentingan umat diurus dengan gaya kepemimpinan Islam, yakni Khilafah. Yang memerintahkan penguasa begitu mengayomi dan mengedepankan kemaslahatan rakyat bukan korporat.

Dalam pengelolaan SDA, Islam memiliki cara pandang yang khas yaitu sumber daya alam yang jumlah atau depositnya banyak merupakan milik umum atau milik rakyat yang harus dikelola oleh negara. Dan Rasulullah Saw menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut : "Manusia berserikat dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput, dan api,"(HR. Abu Dawud).

Adapun cara pemanfaatanya, dapat secara langsung oleh masyarakat umum. Seperti pemanfaatan air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar, dll.
Maka siapa saja dapat mengambil manfaat dari dzat tersebut. Dalam konteks ini negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat, sehingga Wadas yang memberikan penghidupan bertahun-tahun dengan potensi perkebunannya, dalam fungsi ini Khilafah tak akan diusik.

Islam juga memiliki cara pandang yang khas dalam pembangunan. Schnitter (1994) mengatakan pada era kekuasaan Khilafah Abasiyah Pembangunan dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan segelintir pihak melainkan untuk kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Peradaban Islam telah membangun sejumlah bendungan di Baghdad, Irak. Kebanyakan bendungan itu terletak di dekat sungai Tigris untuk mengatasi banjir.
Jika seandainya pun harus melakukan pembangunan dan yang materialnya harus ditambang terlebih dahulu, maka kerugian dan kerusakan akibat aktivitas tersebut akan dipastikan sangat minimalis sehingga alam maupun warga tetap terjaga dan tak hilang mata penceharianya.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak