Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Filosofi dari sebuah pembangunan, termasuk pembangunan waduk dan atau tambang, tentu sejatinya adalah untuk kepentingan rakyat, bukan sebaliknya. Demikianlah yang telah terjadi di desa Wadas, sesungguhnya penduduk Wadas tidak pernah menolak pembangunan waduk atau Bendungan Bener yang terletak 10 km dari Wadas sebagaimana yang dituduhkan atau terekspos. Akan tetapi, penduduk Wadas menolak penambangan andesit yang akan dilakukan di desanya. Ini karena mereka khawatir jika penambangan ini dilakukan besar-besaran akan berpengaruh terhadap lingkungan, seperti kerusakan alam, ketersediaan udara bersih, kemampuan tanah mengikat air, dan yang lebih bahaya lagi longsor akibat proses eksplorasi dengan peledakan. (www.republika.co.id, 10/2/2022)
Pro dan kontra terjadi di berbagai media. Bagi mereka yang pro, mereka memahami kekhwatiran penduduk setempat, karena selama ini mereka hidup berkecukupan dengan pertanian, bahkan beberapa komoditas menjadi komoditas ekspor. Maka penambangan andesit adalah mimpi buruk untuk masa depan pertanian mereka. Bagi yang kontra, mereka melihat bahwa masyarakat tidak mendukung pembangunan yang sedang berjalan.
Maka ada banyak pihak yang kemudian menyampaikan pendapatnya terkait penyelesaian masalah Wadas. Banyak pihka menilai bahwa pemerintah harus mengubah cara komunikasinya dengan masyarakat, sehingga masyarakat bisa menerima pembangunan Bendungan Bener maupun penambangan andesit yang memang sudah disetujui pemerintah setempat.
Kalau kita perhatikan, batu andesit merupakan bahan tambang yang dibutuhkan untuk konstruksi bangunan semisal bendungan, jembatan, jalan, dan sebagainya. Oleh karenanya, memang sedianya batu andesit ini nantinya akan digunakan untuk membangun Bendungan Bener. Tambang andesit di Desa Wadas diperkirakan ada 114 hektare. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Hanya saja, penambangan ini terletak di perbukitan yang merupakan lahan milik rakyat dengan hasil bumi yang melimpah.
Dalam pandangan Islam, batu andesit ini merupakan bahan tambang. Dan berdasarkan ketentuan syara’, jika bahan tambang dalam jumlah banyak atau depositnya banyak, ia terkategori milik umum, milik kaum muslim, dan negaralah yang harus mengelolanya dan tidak boleh menyerahkannya kepada individu. Sebaliknya, jika jumlahnya sedikit, boleh dimiliki dan dikelola oleh individu.
Hal ini bisa dipahami dari hadist riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani. Dikatakan bahwa, Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepadanya? Tidak lain Anda memberi al-mâ‘u al-‘iddu (air yang terus mengalir).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, lalu Rasulullah menarik kembali tambang itu dari Abyadh.
Dalam hadis ini, semula Rasul saw. memberikan tambang garam di Ma’rib itu kepada Abyadh bin Hamal. Namun, setelah diberitahu bahwa itu seperti al-mâ‘u al-‘iddu (mata air yang terus mengalir, Rasul saw. pun menarik kembali tambang garam itu. Ini menunjukkan bahwa tambang yang sifatnya seperti al-mâ‘u al-‘iddu tidak boleh diberikan pada individu, yakni tidak boleh dikuasai dan dimiliki oleh individu. Hal itu memberikan pemahaman bahwa sifat seperti al-mâ‘u al-‘iddu itu menjadi sebab (‘illat) penarikan kembali pemberian itu.
Jadi, status kepemilikan tambang dikaitkan dengan sifat al-mâ‘u al-‘iddu. Sifat ini bisa dipahami menjadi ilat pelarangan suatu tambang dimiliki oleh individu. Adapun al-mâ‘u al-‘iddu, di Al-Qâmûs al-Muhîth maknanya adalah air yang memiliki deposit yang tidak terputus seperti mata air.
Sehingga status tambang yang depositnya besar itu adalah milik umum, yakni semua rakyat berserikat di dalamnya. Selanjutnya, negaralah yang menentukan batasan jumlah deposit suatu bahan tambang yang sudah dinilai memenuhi sifat al-mâ‘u al-‘iddu yang karenanya tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, melainkan statusnya adalah milik umum seluruh rakyat.
Dengan demikian, seharusnya penguasa mengedepankan dialog dengan rakyatnya. Tidak menggunakan kekerasan terhadapnya dan atau mencelakakannya, kemudian membuat kesepakatan dengan rakyat. Jika sudah ada keridaan dari rakyat, dilakukan penggantian yang bisa menjamin kehidupan rakyat selanjutnya dan tidak akan merugikan rakyat. Jika masih ada yang belum setuju, tidak boleh dipaksakan, tetapi penguasa dapat terus mengupayakan dengan cara yang baik, sebab dalam Islam penguasa adalah penggembala rakyatnya.
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad)
Jika dialog ditutup dan justru kekerasan yang digunakan penguasa, maka wajar jika banyak yang menyampaikan bahwa tragedi Wadas membuka tabir bahwa selama ini pembangunan hanyalah untuk kepentingan oligarki, bukan kepentingan rakyat.
Wallahu a’lam bi ash showab.