Oleh: Nurlinda
(Pemerhati Sosial)
Kementerian Perdagangan menetapkan batas harga bahan baku minyak goreng agar terjangkau oleh produsen. Kebijakan ini juga di dukung oleh kewajiban pemasokan bahan baku ke dalam negeri dari eksportir bahan baku minyak goreng.
Kebijakan ini di sampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang merespon harga minyak goreng yang terhitung tinggi. Sebelumnya, ia juga menetapkan minyak goreng satu harga Rp 14.000 di toko ritel modern.
Namun setelah mengevaluasi kebijakan tersebut. Mendag Lutfi kembali mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO). Sebesar 20 persen bagi eksportir bahan baku minyak goreng. Yaitu setara dengan Domestic Price Obligation (DPO) untuk harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri.
Pada kebijakan pekan lalu, melalui Permendag nomor 01/2022 dan Permendag 03/2022, pemerintah menggelontorkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) guna menstabilkan harga. Skemanya, selisih harga akan dibayarkan kepada produsen minyak goreng sebagai pengganti selisih harga keekonomian. (liputan6.com, 27/1/2022).
Namun pada 26 januari 2022, pemerintah menerbitkan Permendag 6/2022 tentang penetapan HET minyak goreng yang berlaku mulai 1 februari 2022. Sehingga kebijakan tersebut secara otomatis telah mencabut aturan subsidi minyak goreng.
Namun dengan kebijakan baru ini, berarti pemerintah menganggap perannya dicukupkan dengan penetapan HET dan ‘pemaksaan’ pada produsen sawit untuk menjual 20% sawit sebagai produksi minyam dalam negeri.
Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata pemerintah menggelontorkan dana subsidi minyak goreng dengan triliunan rupiah itu adalah untuk perusahaan-perusahaan produsen minyak goreng yang pada umumnya merupakan produsen minyak goreng kemasan. Pemerintah Tidak mensubsidi minyak goreng tanpa kemasan atau minyak goreng curah. (kompas, 28/1/2022).
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemberian subsidi kepada minyak goreng kemasan dilandasi dari sisi akuntabilitas karena APBN akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya.
Meskipun pemerintah tidak mengakuinya dengan menyatakan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada kelompok yang pabrikan. Namun di sisi lain pemerintah menilai minyak goreng kemasan produk pabrikan besar lebih siap memberikan perhitungan dan laporan keuangan jika bekerja sama dengan pemerintah menyalurkan minyak goreng bersubsidi.
Hal ini sangat jelas bahwa ketika Kemendag menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk produk minyak goreng kepada seluruh produsen minyak goreng dalam negeri yang melakukan ekspor untuk menjamin ketersediaan stok dan harga terjangkau produk tersebut. Hal ini hanya dalam rangka memberikan harapan bagi perusahaan produsen minyak goreng kemasan, yaitu agar mereka mengalihkan ekspor demi kewajiban menjaga pasokan di dalam negeri. Pada umumnya pemerintah memang berpihak pada korporasi produsen minyak goreng.
Ini lah fakta permasalahan naik-turunnya harga minyak goreng. Semuanya tidak lepas dari akal kapitalisme yang rakus akan mendapatkan keuntungan. Apalagi, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi kapitalisme untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Jadi, dengan adanya permasalahan minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme, pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain. Sehingga dapat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.
Maka tidak heran, apabila para pemilik modal dalam kapitalisme akan menciptakan mekanisme harga atau struktur harga komoditas di pasaran. Karena menurut mereka harga akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara otomatis.
Berbeda halnya dengan Islam. dalam sistem ekonomi Islam. Allah Swt. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Ini sebagaimana hadis, “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR Ibnu Majah)
Namun, ketika negara menetapkan harga untuk umum maka Allah Swt. telah mengharamkannya. Allah melarang tindakan pemberlakuan harga tertentu barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi jual-beli sesuai harga yang telah ditetapkan.
Ini sebagaimana hadis, “Harga pada masa Rasulullah saw pernah membumbung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini).’ Beliau saw menjawab, ‘Sesungguhnya Allah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah.’” (HR Ahmad)
Kondisi melambungnya harga barang memang suatu fakta yang tidak bisa kita hindari. Hal ini misalnya terjadi pada masa peperangan, krisis politik, dan faktor lainnya yang memang merupakan akibat tidak tercukupinya barang di pasaran karena adanya penimbunan barang. Atau karena barangnya memang sedang langka. Namun, solusi masalah ini bukan dengan mematok harga.
Jika kelangkaan barang terjadi karena penimbunan, maka penimbunan tersebut jelas Allah haramkan. Jika kelangkaan barang terjadi karena barangnya memang langka, penguasa harus melayani kepentingan umum tersebut.
Penguasa semestinya berusaha mencukupi pengadaan barang tersebut di pasaran dengan cara mengusahakannya mengambil dari kantong-kantong logistik barang yang bersangkutan. Sehingga keberadaan barang terjaga, tidak harus menjadi langka. Dengan demikian, melambungnya harga dapat terhindarkan.
Wallahu a'lam bishawwab