Solutifkah HET Minyak dalam Lingkaran Korporasi

Oleh : Ummu Khielba 
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)

 
Ironis, Indonesia penghasil minyak tertinggi tapi harga dikendalikan korporasi. Indonesia sudah menjadi produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006. Data Index Mundi mencatat, pada 2019, produksi sawit Indonesia mencapai 43,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun. Produksi didukung oleh ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang seluas 16,381 juta hektare. (JPNN.com, 14 Oktober 2021)
 
Wow, nomor satu produsen kelapa sawit loh. Lah, tapi kok bisa ya, Indonesia malah mengikuti pergerakan harga minyak sawit dunia, harusnya bisa dong mandiri dan mengolahnya sendiri tanpa mengikuti pergerakan negara lainnya. Apalagi ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawitnya luas sekali.
 
Melansir dari m.liputan.com tanggal 27/1/22, Mendag Lutfi mengeluarkan kembali kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20 persen bagi eksportir bahan baku minyak goreng. Serta, Domestic Price Obligation (DPO) untuk harga bahan baku minyak goreng di dalam negeri. 
 
Pada kebijakan pekan lalu, melalui Permendag nomor 01/2022 dan Permendag 03/2022, pemerintah menggelontorkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) guna menstabilkan harga. Skemanya, selisih harga akan dibayarkan kepada produsen minyak goreng sebagai pengganti selisih harga keekonomian. 
 
Namun dengan kebijakan baru ini, berarti pemerintah menganggap perannya dicukupkan dengan penetapan HET dan ‘pemaksaan’ pd produsen sawit utk menjual 20% sawit untuk produksi minyak dalam negeri. Benarkah mampu menjadi solusi?
 
Lagi-lagi negara berperan sebagai regulator, namun tidak bisa mengatasi stabilnya harga setiap komoditas pangan nasional malah menetapkan HET sebagai solusi. Permasalahannya bukan pada penetapan harga, namun akibat salah urus dari negara yang menyerahkan pengelolaannya diserahkan pada korporasi.
 
Sistem oligarkis kapitalis mencengkeram sumberdaya alam di Indonesia, antara penguasa sekaligus pengusaha yang lahir dari sistem destruktif saat ini. Harga apapun dimainkan demi kepentingan para kapitalis liberalis.
 
Dalam Islam, hutan yang seluas itu dialihfungsikan/dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit termasuk ke dalam kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Sejatinya tugas pemerintah atau negara dalam sistem Islam sebagai pengurus, pengayom, pelayan bagi rakyatnya. Jika ada kebijakan yang akan mendatangkan kemudharatan kepada rakyat maka dengan sigap negara semaksimal mungkin menyelesaikannya, tanpa melihat untung dan ruginya.
 
Namun, di sistem kapitalis saat ini, ternyata hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, sekitar 54 persen dikelola oleh swasta yakni para konglomerat atau para korporasi. Merekalah yang mengendalikan pasar. Mereka yang menikmati keberlimpahan keuntungan di tengah penderitaan rakyat kecil. 
 
Jadi, sangat wajar walaupun Indonesia menjadi produsen nomor wahid di dunia sekali pun, tapi tak mampu mengendalikan pergerakan harga CPO dunia. Dan rakyat tak akan pernah sejahtera, yang ada akan semakin sengsara di tengah keberlimpahan sumberdaya alamnya.
 
Masih berharapkah pada sistem bobrok yang dengannya banyak kartel harga pada bahan pokok komoditi utama? Tidakkah rindu dengan sistem yang benar-benar mementingkan kesejahteraan rakyatnya dan mengurus kekayaan alam dari ulah tangan konglomerat dan korporat? Menjadi negara yang berlimpah kekayaan alam dan memiliki kedaulatan yang paripurna? 
 
Wallahu A'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak