Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Sengkarut minyak goreng belum juga berakhir. Meski sudah ada beberapa langkah yang ditetapkan pemerintha untuk mengatasi masalah minyak goreng di pasaran, namun belum juga menjadi solusi bagi masyarakat secara umum.
Sebagimana yang disampiakan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, dalam wawancara dengan JPNN.com pada 28 januari 2022, ia mengatakan bahwa subisidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hanya berlaku sampai 31 Januari 2022.
Oke menjelaskan mulai 1 Februari 2022 karena harga CPO (Crude Palm Oil) sudah ditetapkan dan bahan bakunya sudah diturunkan (harganya) melalui DPO maka pembayaran selisih dari harga keekonomian ke harga HET tidak lagi diperlukan. Di samping itu, Oke juga menyampaikan bahwa pembayaran selisih dana keekonomian pada produsen minyak goreng masih bisa dilakukan setelah 31 Januari 2022.
Dalam hal ini, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru soal harga minyak goreng yang tertuang pada penetapan harga eceran tertinggi (HET) per 1 Februari 2022. Untuk minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium tetap Rp 14 ribu per liter.
Seperti yang kita ketahui, dalam sistem ekonomi kapitalis, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi. Jadi, adanya polemik minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme, pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain sehingga dapat meraih profit sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.
Dalam kasus minyak goreng saat ini pun ternyata juga tidak jauh berbeda. Meski Indonesia adalah negara penghasil sawit yang besar, namun yang menentukan harga adalah Bursa Malaysia Derivatives (BMD). Selain berpatokan pada BMD, harga minyak sawit yang dijual di Indonesia juga mengacu pada bursa komoditas yang berada di Rotterdam, Belanda. Harga panenan perkebunan kelapa sawit di Indonesia ditetapkan melalui kontrak berjangka CPO di BMD. (Kompas, 30/1/2022).
Hal ini tentu berbeda dengan tata aturan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, Allah Swt. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Ini sebagaimana hadis, “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka.” (HR Ibnu Majah)
Namun, ketika negara mematok harga untuk umum maka Allah Swt. telah mengharamkan. Allah melarang tindakan pemberlakuan harga tertentu barang dagangan untuk memaksa masyarakat agar melakukan transaksi jual-beli sesuai harga patokan tersebut.
Kondisi melambungnya harga barang memang suatu realitas yang kadang tidak bisa kita hindari. Namun, solusi masalah ini bukan dengan mematok harga. Penguasa semestinya berusaha mencukupi pengadaan barang tersebut di pasaran dengan cara mengusahakan agar keberadaan barang terjaga, tidak harus menjadi langka. Dengan demikian, melambungnya harga dapat terhindarkan. Dan yang paling penting adalah mandirinya negara Islam dari pengaruh koorporat, sehingga tidak mudah masuk dalam permainan busuk mereka yang rakus. Wallahu a’lam bi ash showab.