Salah Penanganan Covid, Ibadah Umat Islam Dikorbankan




Oleh : Ummu Aimar


Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran (SE) terbaru terkait pelaksanaan kegiatan peribadatan di rumah ibadah. Menag meminta rumah ibadah memperketat prokes di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian omikron.

Seruan serupa turut disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemuka agama. Aturan teranyar terkait kegiatan keagamaan diatur dalam Surat Edaran Nomor SE.04 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Peribadatan/Keagamaan di Tempat Ibadah pada Masa PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19, Optimalisasi Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan, serta Penerapan Protokol Kesehatan 5M.

Ketentuan dalam SE tersebut hampir sama dengan surat edaran sebelumnya, yaitu SE.13 Tahun 2021. Hal yang membedakan adalah penentuan kapasitas rumah ibadah disamaratakan berdasarkan level PPKM.

Menag meminta pengurus dan pengelola tempat ibadah menyiapkan, menyosialisasikan, dan mensimulasikan penggunaan aplikasi PeduliLindungi. “Kami kembali terbitkan surat edaran untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang saat ini mengalami peningkatan dengan munculnya varian omikron," kata Menag dalam keterangannya, (Ahad 6 Februari 2022
https://www.republika.id)

Saat ini Penambahan jumlah kasus positif Covid-19 varian Omicron di Indonesia cukup tinggi, yaitu 36.057 kasus baru dengan total menjadi 4.516.480 kasus per 6/2/2022. Varian Omicron dinyatakan menular lebih cepat dibandingkan varian Alpha, Beta, dan Delta, tetapi gejalanya dianggap lebih ringan dan tingkat kesembuhannya sangat tinggi.

Terkait kasus lonjakan varian Omicron yang cukup tinggi ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk memperketat protokol kesehatan di rumah ibadah. Optimalisasi Posko Penanganan Covid-19.

SE tersebut juga mengatur beberapa hal. Pertama, jarak antarjemaah paling dekat satu meter dengan memberi tanda khusus pada lantai, halaman, atau kursi. Kedua, kegiatan peribadatan atau keagamaan paling lama terlaksana selama satu jam. Ketiga, pengurus dan pengelola tempat ibadah juga wajib memastikan pelaksanaan khotbah, ceramah, atau tausiah memenuhi ketentuan, yaitu memakai masker dan pelindung wajah (face shield) , serta durasinya paling lama 15 menit

Saat kasus Covid-19 naik, selayaknya pemerintah menegakkan kebijakan untuk penanganan dan penguncian wilayah. Orang-orang sakit dan terpapar virus harus segera dipisahkan dari yang sehat dengan melakukan 3T (Testing, Tracing, Treatment) secara masif dan menyeluruh. Hal ini harus dilakukan sesegera mungkin.

Kebijakan penanganan Covid-19 yang kurang tepat akan menyebabkan penularan virus tidak terkendali. Buktinya sudah hampir 3 tahun pandemi ini belum tuntas. Justru mencuat soal pembatasan ibadah bagi umat Islam dengan kebijakan mengeluarkan SE Menag tersebut.

Alih-alih membuat rakyat taat prokes, kesalahan penanganan seperti ini makin banyak mendorong pelanggaran. Alhasil, banyak yang melihat kebijakan terkait Covid-19 ini hanya untuk menghalangi umat muslim beribadah. Aturan kebijakan seakan akan pilih pilih.

Yang menjadi pertanyaan mengapa soal ibadah yang masif disosialisasikan terus menerus? Bagaimana dengan aktivitas masyarakat di ruang publik, semacam acara besar di mall, tempat hiburan, jalan-jalan umum, tempat pariwisata dan lainnya? Karna pada faktanya banyak yang melanggar prokes dan berkerumun .

Disamping itu, karena lambannya penanganan pandemi ini, ibadah umat Islam selalu didiskriminasi sebagai salah satu faktor berkembangnya virus. Sehingga muncul berbagai kebijakan yang sejatinya merugikan umat Islam. Mulai pelaksanaan sholat Jum'at harus berjarak, kutbah jum'at tidak boleh lewat dari 15 menit, dilarang untuk bersilaturahmi ketika idul Fitri, semua yang bernuansa Islam seakan didiskriminasi dilarang dan dihentikan.
Berbeda halnya jika hari besar agama yang diluar Islam, seakan berita berkembangnya virus  hilang seketika. Mereka melaksanakan ibadah dengan aman tanpa didiskriminasi, dan bahkan sampai dikawal ketat untuk keamanan agar ibadah yang diluar Islam tidak terusik.

Inilah realitas penerapan sistem rusak yang  semestinya sudah harus diganti sejak lama, walaupun Indonesia sendiri negara yang bermayoritaskan muslim terbesar nampaknya umat Islam yang hidup didalam nya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak adil, bahkan selalu dituduh sebagai intoleran terhadap ajaran agama lain. Padahal sejatinya Islam adalah agama yang Rahmatan Lil A'lamiin dan sangat mengenal akan persatuan, toleran, dan bahkan menghargai keberagaman budaya. Asalkan tidak bersinggungan dengan aqidah Islam.

Justru saat ini kita harus lebih memakmurkan masjid untuk senantiasa beribadah dengan kusyuk, berdzikir dan berdoa agar pandemi saat ini cepat berlalu dan kasusnya berhenti.
Terlebih untuk para penguasa agar segera bermuhasabah diri atas kondisi negeri ini.

Sistem Islam akan memberi solusi masalah pandemi Covid-19 secara tuntas dan menyeluruh.
Sejak awal adanya pamdemi akan melakukan 3T segera, memisahkan orang sehat dari orang sakit, kemudian memberlakukan tes massal semacam rapid test maupun swab test dengan memberikan secara gratis. Bagi mereka yang terinfeksi, negara akan menjamin pengobatannya hingga sembuh. Karna ini merupakan tugas dan tanggung jawab negara.

Tentunya pemerintah harus menutup wilayah sumber penyakit sehingga tidak meluas dan daerah yang tidak terkena wabah dapat menjalankan aktivitas sosial ekonomi dan keagamaan secara normal tanpa takut tertular. Mereka tetap dapat beraktivitas seperti biasa, berjual beli, beribadah di masjid dengan khusyuk, dan sebagainya. Dengan demikian, penguasa dapat fokus menyelesaikan kasus di daerah terdampak wabah.

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak