Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur diprediksi akan menambah potensi konflik agraria selama proses pembangunan infrastruktur di wilayah itu. Sekretaris Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin mengatakan isu pelanggaran HAM yang lebih aktual memang menyangkut isu agraria, termasuk di sektor perkebunan dan pertambangan. "Kami prediksi nanti akan marak. Sehingga justru kalau pemerintah memindahkan Ibu Kota dan pemerintah sendiri, banyak konflik mengenai lingkungan hidup, perebutan lahan dan sebagainya. Itu harus diselesaikan," kata Zaenal di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
Meski tidak memiliki data detail terkait kasus agraria di Kalimantan, Zaenal menyebut berbagai lembaga seperti Walhi, Jaringan Advokasi Tambang hingga Sawit Watch kerap membuat laporan tahunan terkait kekerasan di sektor itu. Pelanggaran yang terjadi di wilayah itu seperti persoalan perizinan hingga desakan perusahaan yang diterima oleh masyarakat adat. Alhasil masyarakat melakukan advokasi dengan UU perlindungan masyarakat adat sebagai landasan hukumnya. "Karena banyak lingkungan adat yang masih didiami, dieksplorslasi secara sewenang-wenang. Itu melanggar hak asasi manusia terhadap perlindungan masyarakat adat," terangnya.
Sementara itu, Kepala Kampanye Anti Industri Ekstratif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Hadi Jatmiko mengungkapkan, rezim sedang menciptakan kondisi konflik agraria yang lebih besar di Indonesia dengan rencana perpindahan ibu kota negara.
"Pemindahan ibu kota negara ini adalah suatu bentuk rezim sedang menciptakan kondisi konflik agraria sangat besar yang akan terjadi di Indonesia,” ungkapnya dalam diskusi siaran langsung bertajuk Ibu Kota Baru untuk Siapa?, Ahad (23/01/2022) di channel YouTube Media Umat.
Berdasarkan data, terdapat 282 desa dari masyarakat yang terancam akan kehilangan tanah sebagai dampak dari pembangunan ibu kota tersebut. Adapun jumlah jiwa mencapai 180 ribu orang yang akan terancam kehilangan tanah yang masuk dalam konflik-konflik agraria. Pembangunan ibu kota tersebut juga akan mengancam kehidupan masyarakat pesisir, teluk, Balikpapan. Karena, adanya mobilisasi peralatan yang mendarat di sana, yang merupakan tempat 11 ribu nelayan mencari sumber kehidupannya.
Banyak penggiat lingkungan hidup memprediksi, dengan adanya mobilisasi aktivitas alat yang tinggi, akan terjadi pencemaran yang menggangu ekosistem laut dan 11 ribu nelayan akan kehilangan mata pencaharian. Hal tersebut akan menyebabkan 11 ribu kemiskinan yang akan diciptakan oleh rezim.
Dari gambaran ini, kita semakin memahami, bahwa kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara sesungguhnya adalah kebijakan yang tidak urgent sama sekali. Mengingat permasalahan rakyat yang lebih mendesak sangat banyak dan belum ada penyelesaian. Apalagi berbicara anggaran negara. Indonesia dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa dan yang lainnya itu membutuhkan pemerataan ekonomi, membutuhkan kebijakan yang berpihak terhadap lingkungan, membutuhkan pembangunan yang tidak merusak lingkungan, bukan perpindahan ibu kota.
Maka, menjadi hal yang perlu untuk kita telaah lagi, kenapa masalah negeri ini tidak kunjung selesai. Dan setiap solusi atau kebijakan yang di ambil tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya? Hal ini karena paradigma pembangunan dan konsep pelayanan dalam sistem kapitalis adalah untuk menjaga kepentingan para kapital. Maka wajar jika rakyat hanya menjadi tumbal dan sering dicatut namanya. Islamlah yang selama ini telah memiliki konsep yang komprehensif dalam tata kelola negara, sebagaimana sejarah telah membuktikannya. 3,5 abad bukan waktu yang sedikit untuk meragukan kekuatan sistem Islam dalam mengelola negara. Maka, tidakkah kaum muslimin kembali rindu untuk menerapkannya? Wallahu a’lam bi ash showab.