Oleh Aisyah Yusuf
(Pendidik generasi dan Aktivis Subang)
Mati satu tumbuh seribu.
Inilah gambaran permasalahan di negeri ini, yang tak kunjung selesai dalam menghadapi masalah demi masalah.
Belum selesai masalah Covid-19, disusul dengan masalah pemindahan IKN. Kini yang terbaru muncul prahara di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. menolak wilayahnya dijadikan lahan pertambangan batu endesit.
Pada tanggal 8 februari 2022, terjadi bentrok antara warga dengan ratusan aparat gabungan dari kepolisian, satpol PP, dan TNI yang mendampingi tim kanwil Badan Pertanahan Nasional, yang hendak melakukan pengukuran tanah yang sudah di sepakati oleh sebagian warga. Bentrokan ini mengakibatkan ditangkapnya 66 warga yang tidak setuju atas dijadikannya tanah mereka sebagai lahan pertambangan batu endesit. (mediaindonesia.com, 10/02/2022).
Bukan tanpa alasan penolakan warga terhadap kegiatan tersebut. Sebab desa wadas adalah sebuah desa yang terkenal dengan tanaman yang subur, penghasil kayu sengon, kemukus, vanili dan durian. Jadi begitu banyak keuntungan yang diberikan bukit di Wadas itu sehingga warga sekitar menyebutnya sebagai “tanah surga di bumi Wadas”. Warga mengatakan hidup mereka berkecukupan dari alam di “tanah surga” itu.
Wajarlah jika penolakkan pun terjadi. Sebab, menurut mereka jika ini tetap terjadi maka akan merusak kelestarian alam, budaya dan sosial.
Selain itu juga akan menurunkan kualitas udara, dan juga daerah tersebut dikenal dengan daerah rawan longsor yang akan mengancam keselamatan jiwa mereka.
Pertambangan untuk siapa?
Semua bermula dari sebuah rencana pembangunan bendungan Bener yang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Bertempat sekitar 10 Km dari Desa Wadas, dalam pembangunan tersebut membutuhkan batu endesit, dan yang tersedia di Desa Wadas.
Sehingga pemerintah pun menggeser lahan di Desa Wadas yang seharusnya perkebunan menjadi lahan pertambangan.
Tak dapat dipungkiri dalam hal ini pemerintah melalui pejabat provinsi setempat terlihat seperti memaksakan kehendaknya tanpa mempedulikan lagi nasib rakyatnya.
Memang sudah tidak aneh di negeri kapitalis seperti ini, mereka selalu mengedepankan kepentingan para kapitalis dengan mengorbankan rakyatnya. Rakyat hanya dijadikan bulan-bulanan pemuas nafsu berkuasa para oligarki saja.
Salah satu kasus yang bisa dilihat adalah konflik bukan hanya terjadi diantara aparat dengan rakyat saja, namun terjadi di beberapa sektor, yaitu :
1. Konflik vertikal, yakni antara rakyat dengan pemerintah.
2. Konflik horizontal, yakni antara rakyat pendukung dengan rakyat yang menolak.
3. Konflik antara rakyat dengan aparatur keamanan, yakni penggunaan kekerasan aparatur yang berlebihan.
Dengan demikian jelas, bahwa dalam sistem kapitalis-demokrasi, yang berkuasa adalah mereka yang memiliki modal. Suara rakyat sudah tak didengar lagi, kecuali hanya pada saat pemilu saja.
Pada dasarnya pemerintah tidak perlu melakukan kekerasan, yang diakhiri dengan penangkapan warga dalam menyelesaikan kasus ini. Namun cukuplah dengan berdialog.
Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yang mengurusi seluruh aspek kehidupan, dari masalah pribadi, muamalah, hingga pemerintahan.
Pemimpin dalam Islam dipandang sebagai ra'yun (pelayan), dimana dia harus mengurusi seluruh urusan rakyatnya, termasuk di dalamnya persengketaan tanah, baik yang terjadi sesama individu masyarakat, maupun antara individu rakyat dengan penguasa atau pemerintah.
Sebagaimana sabda Rasullullah saw. “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari).
Kemudian persengketaan tanah pun pernah terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin khatab.
Pada saat Gubernur Mesir Amr bin Ash hendak membangun sebuah gedung dan didapati ada sebuah rumah Yahudi yang kumuh hendak di gusur, kemudian yahudi tersebut tidak mengizinkan rumahnya digusur, dan gubernur pun tetap memaksanya.
Kemudian seorang Yahudi tua itupun melaporkannya kepada khalifah Umar bin Khattab.
Umar mendengar keluh kesah sang Yahudi itu, lalu menyuruhnya untuk mencari dan mengambil tulang. Lalu sang khalifah menggambar garis lurus di atasnya dengan pedang.
Pesan tulang itu disampaikannya kepada Amr bin Ash. Seketika itu, wajah sang gubernur pucat pasi hanya karena melihat tulang. Sang yahudi bingung bukan kepalang. Mengapa Amr bisa begitu takut hanya dengan tulang. "Ketahuilah," Amr memulai penjelasannya, "Umar memintaku berbuat adil dan lurus seperti lurusnya garis di dalam tulang ini."
Perlu ditekankan, gubernur masa kekhilafahan itu dikritik oleh rakyatnya yang notabene nonislam. Namun, sistem ini membuat pemimpin mampu memberikan rakyatnya rasa keadilan yang seadil-adilnya. Kritik bukan sesuatu yang menghancurkan penguasa ataupun seseorang ke dalam jurang kenistaan. Tapi, lebih kepada pengingat sang pemimpin dari perbuatan tidak adil.
Demikianlah gambaran pemimpin dalam Islam, yang mengedepankan keadilan karena hanya ketakwaan kepada Allah Swt lah yang menjadi titik awal kepemimpinan sejati.
Wallahu a'lam bishshawab