Oleh : Nurfillah Rahayu
(Team Pejuang Pena Dakwah)
Selama pandemi Covid-19, fenomena panic buying sering terjadi di Indonesia. Kekhawatiran yang berlebihan melanda negeri ini.
Panic buying adalah membeli produk secara berlebihan karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang.
Dilansir dari Kompas.com ( 22 January 2022) Di Indonesia, beberapa barang menjadi sasaran panic buying karena dianggap sulit ditemukan hingga langka.
Seperti hal pertama kali virus corona masuk ke Indonesia, masker, hand sanitizer, temulawak hingga susu beruang pernah ramai-ramai dibeli bahkan adanya indikasi penimbunan barang.
Selain itu, baru-baru ini harga minyak goreng yang melambung hingga Rp 28.000 per liter mulai dicari oleh warga.
Sehingga ketika pemerintah mensubsidi dan memberlakukan kebijakan minyak goreng dengan satu harga di seluruh Indonesia sebesar Rp 14.000 per liter.
Warga membludaki toko dan waralaba untuk mendapatkan minyak goreng harga murah.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perdagangan, kebijakan ini tidak hanya dibuka beberapa hari atau minggu saja, melainkan 6 bulan lamanya.
Namun, nyatanya panic buying tidak bisa dihindarkan di hari pertama pemberlakuannya. Banyak toko langsung kehabisan stok minyak goreng. Sebagian masyarakat tidak kebagian.
Melihat fenomena panic buying semacam ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang ada beberapa aspek yang perlu disoroti.
Pertama adalah lemahnya pemahaman konsumen terkait panic buying.
"Edukasi dan kesadaran masyarakat perlu terus ditingkatkan oleh semua pihak, berkaca dari banyak kejadian- sebelumnya," kata anggota Pengurus Harian YLKI Agus Suyatno, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/1/2022).
"Panic buying bukan tindakan yang smart, baik dari sisi ekonomi dan sosial," lanjut dia.
Tak hanya di pihak konsumen, Agus juga melihat kebijakan yang dibuat pemerintah kurang spesifik dan lemah dalam pengawasan.
"Tidak ada yang salah dalam pemberian subsidi, namun jika tidak diimbangi dengan mekanisme dan pengawasan yang kuat di lapangan, justru akan menimbulkan masalah baru," jelas Agus.
Masalah yang dimaksud, misalnya adalah rentan terjadinya salah sasaran.
Kelompok yang semestinya mendapatkan manfaat subsidi justru kalah oleh kelompok lain yang lebih berdaya secara ekonomi.
"Subsidi yang bersifat terbuka rentan salah sasaran, sebab semua bisa mengakses dengan mudah. Potensi munculnya panic buying yang dilakukan oleh konsumen dengan kemampuan finansial baik akan sangat besar, bahkan mungkin saja akan terjadi penimbunan oleh oknum untuk keuntungan pribadi," terang dia.
Menurut dia, persoalan semacam ini sudah sering terjadi, tetapi pemerintah tidak juga menjadikannya sebagai pelajaran untuk mengadakan program subsidi dengan aturan main dan pengawasan yang baik.
"Gelontoran subsidi bisa dilakukan, tetapi dengan target yang jelas, berapa masyarakat yang bisa mendapat manfaat ini. Dengan demikian perlu pengawasan yang kuat dalam implementasi," ujar dia.
Lemahnya mekanisme dan pengawasan ini lah yang menyebabkan panic buying dan penimbunan terjadi di masyarakat.
Selain itu, Agus menilai selama ini pemerintah juga kurang tepat dalam mengukur keberhasilan program subsidi yang dilakukan.
"Tolok ukur subsidi selama ini adalah berapa barang/Rupiah yang sudah digerojokan, bukan berapa banyak masyarakat terdampak yang menikmati subsidi," kata Agus.
Terakhir, Agus mengatakan selain memberikan subsidi untuk meringankan beban masyarakat, pemerintah hendaknya memikirkan solusi akhirnya, karena subsidi dinilai bukan jalan keluar atas tingginya harga suatu produk di pasaran.
"Ibarat orang sakit yang diberi minyak angin/balsem, pemberiaan subsidi ini tidak akan menyembuhkan penyakit yang sebenarnya. Sifatnya hanya menghangatkan sementara di tempat tertentu saja," ujar Agus.
"Idealnya pemerintah mendiagnosis penyebab dari mahalnya minyak goreng, kemudian memberikan obat yang tepat," pungkas dia.
Inilah Indonesia. Sungguh miris. Saat kepanikan terjadi solusi yang diberikanpun tidak bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Sistem kapitalisme yang ada sekarang jelas sekali tidak bisa mengatasi berbagai permasalahan umat.
Padahal dalam islam jelas sekali melarang menimbun atau hal-hal yang menghambat pendistribusian barang sampai kepada konsumen. Penimbunan dilarang supaya harta atau barang yang beredar tidak hanya dikalangan tertentu.
Sudah saatnya islam yang menjadi ideologi yang sesuai dengan fitrahnya manusia.
Pada Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
" Rasulullah SAW pun bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad). Kata api dalam riwayat di atas dimaknai sebagai segala jenis energi, termasuk minyak, dan gas alam.
Seharusnya seluruh ladang minyak di Indonesia dikuasai Pemerintah Indonesia. Namun, lagi-lagi Indonesia terhambat banyak hal, seperti kemampuan teknologi pengelolaan minyak dan gas, kemampuan dan kapasitas SDM, modal untuk biaya infrastruktur yang sangat mahal serta efisiensi dan efektivitas kinerja Pertamina yang masih rendah jika dibandingkan perusahaan minyak asing. Maka, tidak mengherankan jika Indonesia tidak bisa menetapkan harga BBM sendiri meskipun amanah UUD 1945 dan syariat Islam menyarankan bahkan mengharuskan Pemerintah Indonesia menguasai 100 persen ladang minyak dan menetapkan harga minyaknya sendiri bukan bersandar pada harga standar internasional.
Wallahu a'lam bishowab