Oleh: Anindya
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, adalah gelar mulia yang disematkan pada guru. Guru yang mendidik dan mengajar generasi bangsa. Guru pula yang mempersiapkan penerus kepemimpinan bangsa. Betapa penting dan strategisnya peran guru bagi suatu negara. Karenanya penghargaan terhadap guru sangatlah penting.
Namun, sungguh miris nasib guru di negeri ini, terutama guru honorer. Jumlah guru honorer di Indonesia terbilang sangat banyak. Dengan gaji yang sangat tidak sepadan dengan kinerjanya, bahkan terlambat atau malah tidak dibayar hingga berbulan-bulan.
Dari realitas ini, sangat mudah dipahami mengapa kualitas pendidikan di Indonesia masih di urutan yang memprihatinkan. Dari survey Programme For International Student Assessment (PISA) tahun 2015, Indonesia di peringkat 69 dari 76 negara. Terjadi kenaikan yang kurang signifikan dari tahun 2012, dimana Indonesia menempati peringkat ke 71 dari 72 negara. Demikian pula dari laporan UNESCO tahun 2014, Indeks Pembangunan Nasional atau The Education For Development Indeks (EDI), Indonesia pada peringkat 57 dari 115 negara.
Hasil survei terakhir dari Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada maret 2019 lalu memotret sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara.
Beberapa waktu lalu The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perolehan peringkat Indonesia tidak memuaskan.
Menurut data yang diterbitkan OECD dari periode survei 2009-2015, Indonesia konsisten berada di urutan 10 terbawah. Dari ketiga kategori kompetensi, skor Indonesia selalu berada di bawah rata-rata. Penyebab utama Indonesia selalu mendapat peringkat rendah adalah kurikulum Pendidikan yang diterapkan. (Dilansir dari ayomenulis.id)
Bagaimana kita berharap akan tingginya kualitas pendidikan, jika para guru terutama guru honorer masih harus pontang-panting mencari pekerjaan tambahan untuk mempertahankan hidupnya, dan dengan kurikulum yang terus terusan berganti.
Selama ini Indonesia sudah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 11 kali. Sejak Kurikulum pertama pada tahun 1947, hingga perubahan terakhir Kurikulum 2013. Sehingga terkadang Anak-anak dipaksa memahami sistem baru atau cara pembelajaran yang selama ini tidak dipelajari secara instan.
Dan sekarang pemerintah Indonesia melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo menegaskan status tenaga honorer akan selesai atau dihilangkan pada 2023. Sehingga tidak ada lagi pegawai berstatus honorer di instansi pemerintahan. (Dilansir dari Liputan6.com)
Lantas mau diabawa kemana lagi pendidikan di negeri ini ? Semua anak diminta untuk bisa semua mata pelajaran dengan bimbingan yang baik, sedangkan guru yang mengampu tidak ada, guru honorer yang dengan sukarela berbagi ilmu pun akan dihilangkan.
Berapa banyak keluarga yang akan kehilangan mata pencahariannya? Berapa banyak keluarga yang bergantung ? Padahal dengan adanya guru yang siap mengajar, dapat membantu membangkitkan kembali pendidikan di Indonesia.
Rumit memang, seakan diserang dari beberapa arah, seperti diombang ambingkan di kapal, tiba-tiba bisa tenggelam, tiba-tiba bisa tertabrak karang. Bagaimana nasib Indonesia kedepannya? Bila pengajar bibit unggul Indonesia yang sudah besar ditiadakan ? Adilkah ?.
Tags
Opini