Oleh Yuli Juharini
Pandemi Covid-19 yang terjadi di dunia umumnya, dan di Indonesia khususnya belum ada tanda- tanda akan berakhir. Bahkan baru-baru ini ditemukan varian baru dari virus Corona yaitu Omicron. Walau pun seseorang sudah melakukan vaksinasi, tidak lantas terbebas dari virus Corona ini. Jadi sebenarnya orang yang sudah divaksin sekali pun, masih bisa terjangkit virus corona ini. Dampak dari virus ini sungguh-sungguh luar biasa, dari berbagai macam kehidupan termasuk anak sekolah.
Lewat Surat Keputusan Bersama ( SKB ) empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di masa pandemi covid terbaru, pemerintah mewajibkan sekolah- sekolah dimulai Pembelajaran Tatap Muka (PTM ).
PTM dengan kapasitas 100% wajib hukumnya bagi semua peserta didik di satuan pendidikan yang berada di daerah dengan PPKM level I, II, dan III. SKB empat Menteri tersebut diterbitkan tanggal 21 Desember 2021.
( republika.co.id, 3/1/2022 )
Belum genap satu bulan sejak SKB empat Menteri diterbitkan, Ikatan Dokter Anak Indonesia ( IDAI ) meminta pemerintah segera mengevaluasi kembali kebijakan Pembelajaran Tatap Muka ( PTM ) 100%. Sebab virus Corona varian Omicron semakin merebak dan temuan kasus positif di sekolah semakin banyak. Ketua Umum IDAI, Pipim Basarah Yanuarso menjelaskan, penyebaran Omicron sudah semakin menghawatirkan. Sejak kemunculannya pertama kali pada 16 Desember 2021 hingga saat ini telah terdeteksi hampir 2000 kasus omicron di Indonesia, tiga pasien diantaranya meninggal.
( republika.co.id /, 27/1/2022 )
Orang tua yang masih punya anak sekolah kadang dibuat bingung dengan peraturan yang ada. Di awal pandemi, kegiatan belajar mengajar dibatasi hingga akhirnya diputuskan untuk belajar secara daring. Semua sekolah mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA hingga Perguruan Tinggi melakukan proses belajar secara daring. Para orang tua mulai sibuk ikut aktif belajar bersama putra-putrinya dengan menggunakan handphone.
Banyak kesulitan yang dihadapi oleh para orang tua dengan sistem pembelajaran secara daring, mereka terkendala sinyal, kuota, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki handphone. Tidak jarang para orang tua harus menyisihkan sebagian rejekinya buat beli handphone. Padahal untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja mereka sudah kesulitan, akibat adanya pandemi.
Walaupun banyak kendala yang menyapa, namun para orang tua tetap semangat untuk memberikan pendidikan bagi putra-putrinya, walaupun harus tambal sulam. Ketika ada orang tua tidak mampu membelikan handphone untuk sarana belajar daring, bahkan ada anak yang rela jadi kuli bangunan demi bisa membeli sebuah handphone. Itulah hitam putih kehidupan yang terjadi di dunia pendidikan.
Ketika mall dan pasar mulai ramai dikunjungi tanpa adanya kekhawatiran tentang virus yang merebak, maka sekolah - sekolah pun mulai dibuka dengan pembelajaran tatap muka. Tapi sayang, semua itu tidak berlangsung lama karena adanya varian baru dari virus Corona yaitu Omicron.
Para siswa yang tadinya antusias untuk belajar secara tatap muka, dan antusias pula menggunakan seragam, karena selama ini mereka menggunakan seragam hanya sebentar di rumah. Akhirnya harus menelan pil pahit untuk kembali sekolah secara daring, yang sebenarnya banyak dari mereka itu yang tidak menyukainya.
Dalam membuat kebijakan, negara dengan sistem demokrasi seharusnya memikirkan semua kehidupan rakyatnya. Karena secara teori, demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Termasuk dalam dunia pendidikan. Seharusnya negara dalam membuat kebijakan melihat dulu apa yang sebenarnya rakyat butuhkan.
Dalam dunia pendidikan, negara harus melihat bagaimana kondisi rakyatnya. Karena tidak semua rakyat punya kemampuan untuk masuk dalam program Pembelajaran Jarak Jauh ( PJJ ). Karena tidak semua rakyat bisa mengakses dunia internet karena banyak kendala, termasuk di dalamnya tidak adanya handphone, sinyal yang buruk, dll.
Negara harus lebih bijak jika buat peraturan terkait masalah pendidikan, jika ingin rakyatnya cerdas, pintar dan berkompeten.
Namun, berharap pada negara dengan sistem demokrasi seperti saat ini, sungguh ibarat panggang jauh dari api. Mustahil. Negara lebih mementingkan segelintir manusia dan rela mengorbankan manusia lainnya demi melanggengkan kekuasaannya. Itu pun berlaku pada dunia pendidikan.
Bagaimanakah Islam memandang hal ini? Adakah solusinya dalam Islam?
Dalam Islam, pendidikan merupakan salah satu yang sangat penting untuk jadi prioritas utama agar tercipta manusia - manusia terlatih pada bidang masing - masing. Tentu saja tidak hanya ilmu pengetahuan yang dipentingkan, melainkan ada adap dan akhlak yang diutamakan. Dalam Islam, prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan haruslah berdasarkan akidah Islam yang bersumber dari Al- Qur'an.
Jika ada wabah melanda, maka pemerintah Islam akan serius mengkarantina mereka yang terjangkit. Semua kebutuhan dasar akan dijamin oleh negara, termasuk kebutuhan dalam bidang pendidikan, karena pendidikan merupakan hak asasi bagi seluruh rakyat, tidak peduli kaya mau pun miskin, Muslim maupun nonmuslim yang ada perjanjian di dalamnya. Sikap pemimpin dalam Islam itu sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. dalam hadis riwayat Bukhari, "Imam itu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt atas kepemimpinannya.”
Begitulah yang terjadi dalam negara Islam. Semua aspek kehidupan rakyatnya sangat diperhatikan, karena pemimpin dalam Islam taat pada perintah Allah Swt. dan juga Rasul saw. Tidak ada intervensi dari pihak mana pun. Jadi semua murni bersumber dari kitabullah dan sunah rasul. Semoga ke depannya, semua akan menyadari bahwa tidak ada yang lebih baik dari sistem Islam.
Sudah saatnya kembali pada kehidupan Islam kaffah. Dengan pendidikan yang baik, yang sesuai dengan Islam, semoga dapat tercipta generasi madani di kehidupan mendatang.
Wallahu a'lam bishawwab