Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Di tengah panasnya polemik soal pemindahan ibu kota negara (IKN), di tengah pontang – pantingnya rakyat mencari minyak goreng ber subsidi, di tengah publik mempertanyakan pembangunan infrastruktur yang mangkrak padahal menggunakan dana rakyat, di tengah kasus covid yang kembali naik, di tengah angka kemiskinan dari data BPS yang juga naik kembali, dan di tengah krisis multi dimensi yang lain, kembali kita disuguhi narasi soal radikalisme dan terorisme di dunia pesantren.
Sebagaimana yang kita ketahui, baru-baru ini Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar melontarkan pernyataan kontroversial tentang adanya 198 pesantren radikal yang terindikasi berafiliasi dengan jaringan teror. Pernyataan itu ia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, pada Selasa (25/1/2022) di Jakarta.
Nama Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Jamaah Islamiyah (JI) disebut-sebut sebagai jaringan teroris yang dimaksudkan. Dan sebagaiamana yang sudah kita ketahui, gerakan-gerakan ini memang lekat dengan stigma radikal, bahkan kerap dikaitkan dengan jaringan teroris internasional.
Memang benar, wacana seperti ini sebetulnya bukan perkara baru. Karena sejak periode awal pemerintahan Jokowi, narasi melawan bahaya radikalisme dan terorisme telah menjadi tagline utama dalam program kerja pemerintahannya. Bahkan, narasi ini kemudian disandingkan dengan proyek moderasi Islam yang sangat masif dilakukan dengan kucuran dana yang sangat besar. Pengarusderasan moderasi Islam seakan melegitimasi tuduhan bahwa di mata pemerintah, ajaran Islam kafah adalah sumber tindakan radikal dan aksi-aksi teror yang meresahkan.
Jika mau jujur, justru ancaman nyata di negeri ini ialah masih langgengnya penerapan sistem kapitalisme liberalistis yang terbukti gagal menyejahterakan, mewujudkan keadilan, memajukan bangsa dan negara. Publik dapat melihat dengan jelas, korupsi makin masif dilakukan para pejabat dan politisi. Pertumbuhan ekonomi negeri macet dan utang tembus Rp5.000 triliun. Pindah ibu kota pun dilakukan dengan pinjaman utang lagi dan seterusnya.
Terjadi deindustrialisasi yang tidak terbendung. Pengangguran meningkat dan lapangan kerja makin sulit didapatkan. Angka kemiskinan yang tidak kunjung turun malah makin bertambah. Lonjakan harga pangan makin melambung. Pajak pun kian mencekik. Belum lagi, kenaikan tarif dasar listrik, langkanya BBM hingga wacana penghapusan salah satu BBM terjangkau oleh masyarakat.
Maka disinilah pentingnya konsistensi dalam berdakwah. Karena dengan berdakwah, umat akan memahami realitas kehidupannya dan akan menilainya berdasarkan aqidah dan pandangan politik Islam. Dakwah juga merupakan kewajiban dari Allah SWT kepada umat Islam. Sebab Allah SWT menghendaki kehidupan yang baik dengan membawa kemanfaatan untuk seluruh umat manusia. Selain itu dakwah merupakan saling berpesan ingat dan mengingatkan, karena peringatan tersebut bermanfaat bagi orang beriman.
Wallahu a’lam bi ash showab.