Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah menyelesaikan peningkatan dan pembangunan jalan baru dari Labuan Bajo menuju Tana Mori sepanjang 25 km. Dukungan infrastruktur jalan dan jembatan tersebut bertujuan untuk memperlancar konektivitas Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo sekaligus dalam rangka persiapan ASEAN Summit pada Februari 2023. (www.Kompas.com, 15/2/2022).
Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) NTT, Agustinus Juknianto mengatakan, selain pembangunan dan peningkatan Jalan Labuan Bajo-Tana Mori juga dilakukan penanganan lereng di atas lima meter menggunakan selimut pelindung erosi dengan vegetasi jenis Legume Cover Crops (LCC). Oleh sebab itu, diharapkan setelah ruas jalan ini terhubung, nantinya jarak dari Labuan Bajo menuju Tana Mori dapat ditempuh hanya dalam waktu sekitar satu jam. Di samping itu, agar aksesibilitas ke destinasi wisata di Labuan Bajo mempunyai banyak pilihan jalur transportasi. Pemerintah bahkan berencana menyulap Labuan Bajo layaknya Bali, yakni dengan membangun jalan tol.
Tidak hanya demi menyambut ASEAN Summit 2023, Labuan Bajo juga diketahui tengah dipersiapkan untuk menjadi salah satu tempat penyelenggaraan Side Events G20 tahun ini. Hal ini sebagai pendukung pelaksanaan kegiatan Presidensi G20 Indonesia bidang pariwisata dan ekonomi kreatif, yang akan dimulai pada Juni 2022. Mengutip laman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), terdapat 121 side events yang akan berlangsung di 20 kota di Indonesia dari Desember 2021 sampai Oktober 2022. (www.Kompas.com, 15/2/2022).
Agenda Side Events G20 sendiri berdampak penting pada keseluruhan rangkaian pertemuan G20. Di antaranya sebagai ajang untuk menampilkan citra positif budaya Indonesia sekaligus memberikan dampak peningkatan perekonomian negara.
Labuan Bajo dikenal sebagai salah satu destinasi wisata internasional di NTT. Melihat posisinya ini. Labuan Bajo justru menyimpan ketimpangan dan jurang sosial yang dalam terhadap kondisi umum masyarakat NTT. Labuan Bajo benar mendunia, tetapi beragam problem sosial di NTT justru menampilkan ironi yang menyakitkan di balik popularitas Labuan Bajo itu sendiri.
Berdasarkan data sementara yang dihimpun dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat, total rumah tidak layak huni di Provinsi NTT adalah sejumlah 11.983 unit. Sebanyak 12 kelurahan di Kota Kupang masuk dalam kawasan kumuh.
Tidak hanya itu, hingga 2021 lalu, NTT diketahui sebagai provinsi dengan angka kekerasan yang tinggi terhadap perempuan. Sebagian besar kasusnya berupa kekerasan seksual. Pemprov NTT menyatakan, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak dan perempuan mengalami peningkatan selama masa pandemi Covid-19. Tercatat kekerasan menembus angka 564 kasus pada 2020. Angka tersebut (564 kasus) termasuk tinggi.
Bentuk kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual jenis inses (770 kasus) dan kekerasan seksual lainnya (571 kasus). Dominannya kasus inses dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan, menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat, seperti anggota keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan dan memastikan anak tumbuh dan berkembang secara baik.
Realitas lainnya, angka stunting di NTT juga masih sangat tinggi. Belum lagi fenomena eksploitasi tenaga kerja anak di bawah umur. Pun kasus human trafficking, banyaknya kasus human trafficking (perdagangan manusia) di NTT karena kemiskinan. Ya, NTT juga diketahui sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Saat ini angka kemiskinan di NTT mencapai 20,90% atau sekitar 1.168 orang miskin di NTT, dari total jumlah warga NTT 5,4 juta jiwa.
Dari sini kita bisa membaca, jauh panggang dari api. Sungguh permasalahan di NTT ini adalah masalah yang serius. Tingkat kesejahteraan rakyatnya sangat rendah. Maka, pembangunan infrastruktur yang saat ini dilakukan, sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Nyata bahwa penggunaan uang rakyat dalam proses pembangunan hanyalah untuk melayani event internasional, bukan untuk kepentingan rakyat NTT.
Maka, hanya dengan Islamlah rakyat NTT bisa sejahtera. Karena dalam pandangan Islam, penguasa adalah penggembala bagi rakyatnya. Rakyat NTT butuh solusi yang menyeluruh, yang tentunya butuh dana sangat banyak dan kapasitas pemimpin yang mumpuni. Terkait biaya, hanya sisitem baitul maal Islam lah yang memiliki sumber pemasukan besar. Jika berharap pada APBN sistem kapitlais, yang hanya bersumber pada pajak, jelas tidak akan cukup. Adapun terkait pemimpin, hanya pemimpin berkepribadian Islamlah yang akan berani dengan lantang menolak segala bentuk intervensi asing dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Wallahu a’lam bia sh showab.