Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengubah nama kurikulum prototipe menjadi kurikulum merdeka. Nadiem mengatakan kurikulum merdeka ini adalah bentuk penyederhanaan kurikulum dalam bentuk kurikulum dalam kondisi khusus atau kurikulum darurat.
“Penyederhanaan kurikulum darurat ini efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi Covid-19,” kata Nadiem dalam jumpa pers, Jumat (11/2/2022).
Nadiem menyebut kurikulum merdeka ini merupakan pilihan yang bisa digunakan sekolah, sementara kurikulum 2013 tetap bisa digunakan sesuai dengan kesiapan sekolah menerapkan kurikulum baru. Menurut Nadiem, sedikitnya sudah ada 2.500 sekolah atau 31,5 persen sekolah yang sudah menggunakan kurikulum merdeka yang diklaim pembelajaran lebih sederhana, fokus, dan beban materi lebih ringan.
Kurikulum Merdeka ini bakal diterapkan pada tahun ajaran baru 2022/2023 mulai dari TK hingga SMA bisa mengimplementasikan Kurikulum Merdeka bertahap berdasarkan kesiapan masing-masing. (www.suara.com, 11/2/2022)
Pandemi Covid-19 memang berdampak sangat serius bagi kualitas pembelajaran. Terlebih penerapan Kurikulum 2013 dinilai memberatkan sehingga pembelajaran daring tidak efektif. Maka penyederhanaan kurikulum pun menjadi pilihan kebijakan.
Salah satu hal yang layak dicermati dalam kurikulum ini adalah muatan kebebasan. Tampak dari nama yang diusung yakni Merdeka. Kemerdekaan inilah yang selalu digaungkan, baik bagi siswa maupun guru atau pendidik. Sayangnya, justru dari sinilah celah masalah itu muncul.
Pertama, potensi munculnya disparitas dalam kualitas pembelajaran. Hal ini dikarenakan tidak adanya pemaksaan (keseragaman) dalam penggunaan Kurikulum Merdeka (setidaknya hingga 2024). Sekolah yang siap untuk menggunakan Kurikulum Merdeka boleh jadi akan dianggap sebagai sekolah unggulan dalam persepsi masyarakat. Sementara sekolah yang belum siap, akan kesulitan bersaing untuk mendapat kepercayaan masyarakat. Akankah negara memberikan pembinaan terhadap sekolah seperti ini? Sementara, hingga saat ini pun Negara belum optimal dalam memajukan pendidikan terutama di daerah 3T.
Kedua, adanya ancama ideologis. Atas nama kebebasan bisa jadi sekolah mengambil kegiatan ekstra kurikuler yang sebenarnya tidak bermanfaat. Apalagi jika ternyata dalam pelajaran yang dimaksud, tidak hanya transfer pengetahuan atau keahlian, namun juga penanaman budaya asing (Barat). Ini tentu bisa menjadi jalan pembajakan potensi generasi demi kepentingan eksistensi peradaban Barat yang sering berseberangan dengan aturan Islam.
Ketiga, kompetensi guru yang tidak merata, berpeluang memunculkan masalah baru. Dalam kurikulum ini, guru diharuskan memampukan dirinya mengikuti perkembangan belajar siswa. Jika siswa mampu berlari, guru harus mampu memfasilitasinya. Sebaliknya, guru juga harus bersabar terhadap kondisi siswa yang tertinggal. Dengan bekal aplikasi atau platform Merdeka Mengajar yang disediakan bagi guru belum tentu optimal. Apalagi banyak kita ketahui, beban guru tidak hanya seputar dunia pengajaran, tidak sedikit diantara mereka yang masih terkungkung masalah ekonomi, sosial dan lain sebagainya.
Keempat, berpotensi mengukuhkan konsep kapitalistik dalam tata kelola pelayanan publik. Seharusnya, negara memegang peran sentral dalam pemenuhan semua kebutuhan pendidikan. Namun, dengan kurikulum ini, beban tersebut akhirnya lebih banyak bertumpu pada guru dan sekolah.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo (21/1/2022) menyatakan bahwa kurikulum di tingkat nasional itu bersifat kerangka dasar. Untuk itu, ada lagi kurikulum di tingkat satuan pendidikan yang dibedakan karena kesadaran kurikulum itu harus kontekstual.
Sekolah memiliki otoritas yang tepat mengenai cara membangun pembelajaran yang kontekstual itu. Sebab, pembelajaran mesti sesuai kebutuhan belajar anak, daerah, dan sumber daya manusia yang ada di sekolah.
Di satu sisi, fleksibilitas bisa ditangkap positif—meski tidak sepenuhnya—yakni jika satuan pendidikan mampu mengarahkan pembelajaran sesuai misi pendidikan sahih. Namun, di sisi lain, otoritas sekolah yang terlalu besar juga berpeluang masuknya pihak luar yang hendak mengambil keuntungan dari bisnis pendidikan.
Islam, sebagai sistem hidup yang sempurna, telah memberi gambaran sempurna bagaimana seharusnya sekolah beserta kurikulumnya harus diatur. Pendidikan, adalah hak dasar yang harus didapatkan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Dan negara adalah institusi yang harus menyelenggarakan proses pendidikan dari hulu sampai hilirnya. Negara seharusnya menyediakan kurikulum pendidikan berkualitas beserta semua perangkat yang dibutuhkan, baik kerangka maupun implementasinya. Negara—pemerintah pusat hingga daerah—harus memastikan pembelajaran berjalan bagus sesuai tujuan yang diharapkan.
Bagaimanapun, negara harus sangat berhati-hati dan bertanggung jawab penuh dalam menetapkan kurikulum. Sebab, kurikulum menentukan performa output pendidikan. Oleh sebab itu, salah satunya, negara harus mendukung penuh terwujudnya kompetensi guru. Sementara, dalam kebijakan Merdeka Belajar saat ini, negara lebih mengandalkan pelatihan yang bersifat mandiri melalui platform (Merdeka Mengajar) ataupun pelatihan digital, baik yang bisa diakses melalui aplikasi maupun lewat flashdisk bagi yang terkendala dalam jaringan dan perangkat.
Selain itu, dalam pandangan Islam, output pendidikan haruslah bisa mewujudkan manusia yang berkepribadian Islami, menguasai ilmu (tsaqafah dan pengetahuan umum), serta menguasai kecakapan hidup untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, tentunya siswa tidak hanya membutuhkan penguatan numerasi dan literasi. Namun, mereka membutuhkan penguatan syakhshiyyah (kepribadian). Bahkan, ini merupakan bagian terbesar yang harus dipastikan pembentukannya sejak pendidikan dasar dan berlanjut hingga pendidikan tinggi.
Maka dari sini, kita bisa memprediksi, learning lost tidak mungkin bisa diatasi hanya dengan menluncurkan platform digital seperti kurikulum merdeka. Butuh solusi komprehensif yang harus di motori dan difasilitasi negara. Hal ini sulit terwujud jika kita masih dalam kungkungan sistem kapitalis. Hanya sistem Islam yang memiliki pandangan utuh tentang masa depan pendidikan. Karena dalam pandangan Islam, hak pendidikan bagi masyarakat bukan hanya program kerja, tapi amanah syara’ ayang akan dipertanggungjawabkan sampai akhirat. Wallahu a’lam bi ash showab.