Oleh : Tri Silvia
(Pemerhati Masyarakat)
Beberapa hari ke belakang, jagad dunia maya dan nyata diramaikan tentang ulasan terkait dengan konflik Desa Wadas. Sebuah konflik vertikal antara Pemerintah daerah dengan warga asli terkait dengan tanah yang akan dijadikan tambang batu andesit, guna pembangunan Bendungan Bener, Jawa Tengah. Konflik yang cukup berkepanjangan ini bahkan berujung dengan penangkapan puluhan orang warganya beberapa hari yang lalu, dimana beberapa diantara mereka masih dibawah umur.
Kasus tersebut sontak saja mengagetkan semua pihak, termasuk orang-orang yang biasanya acuh dengan urusan yang demikian. Bayangkan saja, hanya karena menolak pengukuran tanah yang sedang dilakukan, mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian dan merasakan jeruji besi. Tak tanggung-tanggung ada lebih dari 60 orang warga yang diamankan oleh pihak kepolisian, 10 diantaranya di bawah umur (Tempo.co, 9/2/2022).
WALHI telah melaporkan peristiwa tersebut. Mereka menyebut adanya serangkaian tindak intimidasi dan pengepungan terhadap warga Desa Wadas. Selain itu mereka menyebutkan bahwa listrik Desa Wadas telah dimatikan beberapa hari sebelum peristiwa itu, tepatnya sejak Senin (7/2) malam. Tak hanya listrik, bahkan sinyal internet pun diputus.
Peristiwa itu akhirnya terangkat ke publik ketika video rekaman nya tersebar dan menjadi viral. Usai itu, video klarifikasi pun keluar. Mulai dari Mahfud MD, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi. Mahfud MD menegaskan bahwa tidak ada kekerasan yang terjadi dalam peristiwa tersebut dan pihak kepolisian sudah bertindak sesuai dengan prosedur. Lantas pak Gubernur pun menanggapinya dengan permintaan maaf seraya meminta Polri untuk membebaskan para warga. Adapun pak Kapolda cenderung membela diri menolak istilah penangkapan.
Selain permintaan maaf dari pak Gubernur, nyatanya pernyataan-pernyataan lainnya itu cenderung membenarkan diri atas peristiwa yang terjadi, dan berbalik menyalahkan masyarakat yang dituduh bersikap provokatif dan saling beradu antara yang pro dan kontra atas pengukuran yang dilakukan. Dan yang paling menyedihkan adalah pernyataan dari pak Menteri yang menyatakan adanya penolakan dari masyarakat nyatanya tidak akan menghambat pembangunan yang telah direncanakan.
Apakah seperti itu sikap pemerintah yang baik, yang katanya demokratis dan senantiasa mengedepankan musyawarah antara warga? Lantas dimana slogan mereka yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Tanah yang akan dibangun itu merupakan tanah rakyat, meskipun nantinya akan dibangun fasilitas untuk kepentingan umum, namun pemerintah wajib mengedepankan unsur diplomatik dan permusyawaratan. Berikan kompensasi yang setimpal, dan adakan edukasi kepada masyarakat. Tunjukkan kepada mereka tentang apa saja manfaat yang akan mereka terima dari pembangunan tersebut, ataupun untuk masyarakat Jawa Tengah pada umumnya.
Teringat kisah Gubernur Amr bin Ash dahulu yang mendapat teguran dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Teguran itu turun lantaran sang Gubernur hendak menggusur kediaman seorang nenek Yahudi untuk dijadikan sebuah masjid. Saat itu, berbagai negosiasi telah dilakukan, namun si nenek tidak mau menerimanya. Teguran dari Amirul Mukminin itu datang berupa sebongkah tulang unta yang besar dengan garis tegak lurus dari ujung atas hingga bawah seumpama alif, dan kemudian ditimpa dengan goresan ujung pedang yang melintang ditengahnya.
Saat menerima tulang itu, sontak tubuh sang Gubernur pun bergetar, menggigil dengan wajah yang pucat seraya meminta maaf dan mengatakan kepada si nenek bahwa ia menarik kembali keinginannya untuk menggusur kediamannya. Begitulah salah satu teladan yang ditunjukkan oleh seorang Amirul Mukminin saat menemukan ketidakadilan yang terjadi kepada seorang warga negaranya. Dengan tanpa memandang buluh, keluhan sang nenek Yahudi ini pun ditanggapi dengan serius oleh beliau. Walaupun beliau tahu bahwa penggusuran tersebut dilakukan untuk membuat sebuah masjid.
Begitupun teladan dari Gubernur Amr bin Ash yang langsung bisa menangkap pesan tersembunyi pada tulang yang diberikan untuk kemudian segera mengingat hakikat diri dan tugasnya sebagai wali atau Gubernur yang diangkat untuk mengurusi umat. Yang mana setelah itu ia pun langsung menganulir kebijakannya dan meminta maaf kepada si nenek.
Contoh inipun menjadi salah satu teladan besar yang menjadi bukti besarnya peradaban Islam kala itu. Keadilan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat begitu diperhatikan disana. Jauh berbeda dengan masa ini, dimana arogansi dan kesewenang-wenangan merajalela. Segala kepentingan rakyat diinjak-injak untuk kemudian menjunjung tinggi berbagai kepentingan para pemodal besar.
Hal itulah yang dilakukan hari ini dalam peristiwa penangkapan puluhan warga Wadas Purworejo, Jawa Tengah. Mereka sebagai warga yang merdeka dan memiliki tanah secara pribadi kemudian dirampas haknya dan diminta untuk meninggalkan kediamannya secara paksa. Sungguh tak ada keadilan sama sekali dalam peristiwa ini. Yang ada justru kezaliman yang merajalela. Rakyat dibungkam guna melancarkan kepentingan para pemangku kebijakan yang sarat juga dengan kepentingan para kapitalis.
Sungguh apa yang terjadi saat ini merupakan cerminan dari busuknya sistem yang tengah diterapkan. Sistem yang rusak dari asalnya, sudah menjadi busuk saat ini. Ia membawa bau busuk yang sangat menyengat, yang bisa dicium dari jauh, bahkan tanpa harus melihat lagi fakta sebenarnya.
Melihat kejadian ini, maka sangat penting untuk mengembalikan lagi fungsi pemerintah pada tempatnya. Begitupun para pemodal dan seluruh rakyat, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah. Yang hal tersebut tidak akan terwujud tanpa diterapkannya aturan-aturan Islam dalam kehidupan. Disamping itu, kita pun memang wajib berusaha untuk mengganti sistem yang busuk sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dengan sesuatu yang indah dan akan menghasilkan keindahan dalam segala penerapannya. Itulah Islam, sebuah aturan yang akan mewujudkan rahmatan lil alamin. InsyaAllah.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini