Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Pembangunan ibu kota negara (IKN) "Nusantara" di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, semakin dekat. Terbaru, Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). UU Nomor 3 Tahun 2022 itu diteken Presiden pada 15 Februari 2022. "Iya (sudah ditandatangani Presiden). Sudah jadi UU Nomor 3 Tahun 2022," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Wandy Tuturoong kepada Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur diprediksi akan menambah potensi konflik agraria selama proses pembangunan infrastruktur di wilayah itu. Meski tidak ada data detail terkait kasus agraria di Kalimantan, berbagai lembaga seperti Walhi, Jaringan Advokasi Tambang hingga Sawit Watch kerap membuat laporan tahunan terkait kekerasan di sektor itu. Pelanggaran yang terjadi di wilayah itu seperti persoalan perizinan hingga desakan perusahaan yang diterima oleh masyarakat adat. Alhasil masyarakat melakukan advokasi dengan UU perlindungan masyarakat adat sebagai landasan hukumnya.
Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa data. Berdasarkan pemetaan wilayah, terdapat 282 desa dari masyarakat yang terancam akan kehilangan tanah sebagai dampak dari pembangunan ibu kota baru. Adapun jumlah jiwa mencapai 180 ribu orang yang akan terancam kehilangan tanah yang masuk dalam konflik-konflik agraria. Pembangunan ibu kota tersebut juga akan mengancam kehidupan masyarakat pesisir, teluk, Balikpapan. Karena, adanya mobilisasi peralatan yang mendarat di sana, yang merupakan tempat 11 ribu nelayan mencari sumber kehidupannya.
Islam memandang bahwa negara dan pemerintah adalah pelayan umat (publik). Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat beserta berbagai kebutuhan lain yang diperlukan untuk hidup layak. Negara menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk hajat hidup rakyat, bukan malah menyusahkan rakyatnya.
Jika kita susuri lembaran sejarah, pemerintahan negara Islam juga pernah memindahkan ibu kota negara Khilafah sebanyak empat kali, mulai dari Madinah ke Damaskus, ke Bagdad, ke Kairo, terakhir ke Istanbul.
Alasan perpindahan ibu kota negara Khilafah ke Bagdad adalah untuk kemaslahatan umat, yaitu karena lokasinya strategis, air di sana tersedia sepanjang tahun, serta dan Bagdad menjadi kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia. Semua ini dilakukan bukan untuk ambisi penguasa atau kepentingan segelintir orang.
Nah, kalau kita bandingkan dengan yang akan dilakukanpemerintah sekarang, siapakah sebenranya yang diuntungkan dari pemindahan Ibu kota? Sementara dilihat dari masyarakat setempat, justru diprediksi akan menambah konflik agraria? Dari gambaran ini, kita semakin memahami, bahwa kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara sesungguhnya adalah kebijakan yang tidak urgent sama sekali. Mengingat permasalahan rakyat yang lebih mendesak sangat banyak dan belum ada penyelesaian. Apalagi berbicara anggaran negara. Indonesia dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa dan yang lainnya itu membutuhkan pemerataan ekonomi, membutuhkan kebijakan yang berpihak terhadap lingkungan, membutuhkan pembangunan yang tidak merusak lingkungan, bukan perpindahan ibu kota.
Terkait prediksi konflik agraria, maka negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. Hal ini tentunya tidak akan mengorbankan rakyat, jika tanah pribadi masih dikelola, maka ganti rugi dari negara harus bisa mengembalikan sumber penghidupannya selama ini. Maka dibutuhkan proses diskusi inten antara penguasa dan rakyat terkait pembangunan fasilitas umum jika berkaitan dengan lahan – lahan mata pencaharian mereka. Di sisi lain, perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan.
Begitulah prinsip pemindahan dan pembangunan kota di sistem Khilafah. Segala aspek akan dipertimbangkan demi mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sekadar mengejar ambisi dan prestise di mata dunia.
Wallahu a’lam bi ash showab.