Kisruh Minyak Goreng, Produksi Sawit Kita Kemana?



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Ketimpangan harga minyak goreng kemasan di pasar tradisional dan pasar modern menyusul kebijakan satu harga Rp 14.000 per liter, membuat pedagang pasar tradisional merugi karena sepi pembeli. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai program subsidi minyak goreng satu harga tak cukup menyelesaikan masalah ketersediaan minyak goreng di pasaran, dan membuat konsumen tak punya banyak pilihan.

Dalam Program Sapa Indonesia Pagi, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan menyebut pemerintah memastikan ketersediaan minyak goreng, namun kelangkaan terjadi karena ada skema yang tidak tepat bagi para pelaku usaha. (www.kompastv.com, 29/1/2022)

Sementara Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi terlebih dahulu menyorot harga minyak goreng yang mahal, sebelum penetapan satu harga. Tulus mendesak pemerintah menyelidiki dugaan adanya permainan kartel minyak goreng yang menimbulkan gejolak harga dan stok minyak goreng.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey mengatakan sebaiknya ada mekanisme dan regulasi yang jelas terkait ketersediaan dan kestabilan harga minyak goreng.

Selanjutnya, Kementerian Perdagangan menyebut akan mencabut subsidi minyak goreng pada 31 Januari 2022. Sebagai gantinya, pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium Rp 14.000 per liter.

Pertanyaannya, bukankah Indonesia adalah negara penghasil sawit yang besar? Kenapa harga minyak bisa sangat tinggi dan bahkan sempat mengalami kelangkaan?

Benar, Indonesia selama ini dikenal sebagai penguasa minyak sawit secara global, naik turunnya harga komodits sawit dikendalikan oleh bursa di Negeri Jiran yakni Bursa Malaysia Derivatives (BMD). Selain berpatokan pada BMD, harga minyak sawit yang dijual di Indonesia juga mengacu pada bursa komoditas yang berada di Rotterdam, Belanda. Harga panenan perkebunan kelapa sawit di Indonesia ditetapkan melalui kontrak berjangka CPO di BMD. Besarnya pengaruh BMD dalam penetapan harga sawit global cukup beralasan mengingat Malaysia sebelumnya merupakan negara penghasil CPO terbesar dunia. (Kompas, 30/1/2022).
Posisi BMD sebagai salah satu penentu harga sawit global tak tergeser meskipun Indonesia belakangan jadi penghasil CPO terbesar di dunia. Mengutip laman resminya, perdagangan komoditas CPO di BMD sudah ada sejak Oktober 1980. Harga minyak sawit pun ditentukan dengan mata uang ringgit Malaysia (RM) dan dollar Amerika Serikat (USD).

Demikianlah kejam dan ironisnya sistem kapitalis yang rakus. Terlebih, keberadaan harga adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi kapitalisme untuk memainkan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Jadi, adanya polemik minyak goreng bukan hanya soal kelangkaan sehingga penetapan HET menjadi solusi pemerintah. Namun, berhubung harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalisme, pada titik inilah para kapitalis sangat leluasa bermain sehingga dapat meraih profit sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apa pun.

Sungguh keliru ketika penguasa kapitalisme saat ini mengaku sudah menyubsidi minyak goreng agar dapat menekan harganya, tetapi di sisi lain ternyata CPO sedang digunakan untuk kebutuhan produksi biodiesel yang tidak lain adalah megaproyek energi hijau. Ini tentu mengganggu stok CPO sebagai bahan dasar minyak goreng sehingga berpeluang membuat stok minyak goreng menjadi langka. Pun ketika ditemui fakta bahwa pengendali harga adalah para koorporat, maka ini menunjukan bahwa posisi tawar negara kita lemah di hadapan pengusaha. 
Wallahu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak