Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Meski masih dalam duka pandemi, tidaklah menyusut acara penyambutan Valentine's Day. Paket romantis atas nama cinta menjiwai setiap promosi demi terciptanya transaksi. Di dunia maya, eksploitasi cinta juga tidak kalah bergema. Sejak beberapa hari mendekati 14 februari, berseliweran aneka pernak-pernik lucu, indah, dan didaulat penuh "cinta". Paket coklat, rangkaian bunga, kalimat romantis, filem romantis, dan masih banyak lagi. Semua seolah mengagungkan satu satu kata yang bernama cinta.
Sudah banyak upaya penyampaian, bahwa valentine bukanlah warisan, baik budaya terlebih agama. Mengutip apa yang ditulis wikipedia.org, valentine sangat erat hubungan sejarahnya dengan yunani kuno. Kisah pernikahan para dewa. Valentine juga dikatkan dengan sejarah perayaan gereja. Sampai ada yang mengkaitkan valentine adalah cerita heroik valentinius demi membela sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Namun, masih menurut wikipedia.org, pada masa modern (mulai tahun 1847), nuansa ekonomi mulai mewarnai budaya valentine's day. Amerika mengimpor budaya ini dari Inggris dan memanfaatkannya untuk mendapat keuntungan melalui produksi massal kartu ucapan.
Semua orang tidak bisa mengelak, bahwa Valentine’s Day di kalangan remaja yang tumbuh di Kota Besar, identik dengan dunia gemerlap (dugem), pesta miras, perzinahan, dan mengkonsumsi barang-barang terlarang, seperti ecstasy, shabu-shabu dan sejenisnya. Dari tahun ke tahun, perayaan Valentines’Day telah menelan banyak korban. Diantara mereka, ada yang mati konyol saat pesta miras, hamil di luar nikah, dan kecelakaan setelah menggunakan narkotika pada moment Valentines’ Day. Namun, belum juga para remaja mau belajar dari pengalaman dan meninggalkan budaya ini demi masa depan.
Kondisi ini tentu tidak bisa kita biarkan. Jika remaja kita sudah terlena jauh oleh hura-hura, apalagi yang bisa kita harapkan untuk estafet pembangunan bangsa? Karenanyalah, kepedulian kita sangat dibutuhkan dan sangat besar peran nya. Kalau kita perhatikan secara mendalam, kondisi remaja kita yang memprihatinkan, dipengaruhi oleh tiga aspek yang saling berkaitan, yakni aspek personal, lingkungan, dan peran negara. Aspek personal, betapa aqidah remaja muslim sudah sangat lemah. Meski mereka tahu budaya valentine's berasal dari agama lain, mereka dengan senang hati tetap mengikuti. Padahal Rosullullah sang panutan telah mengingatkan "Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. at-Tirmidzi). Remaja kita telah menjdi remaja yang lebih mengejar coklat daripada akad. Padahal coklat bisa mengahantarkan maksiat dan akad akan menambah nikmat.
Aspek kedua adalah faktor lingkungan, betapa gaya hidup individualis sudah sangat parah di negeri ini. Masyarakat tidak peduli atau pura - pura tuli dengan kondisi. Sehingga kontrol mereka nyaris tidak ada. Masyarakat secara umum lebih sibuk dengan urusan pribadi, dibanding upaya amar ma'ruf nahi munkar di lingkungan. Aspek ketiga, yakni aspek paling vital, adalah peranan negara.
Negara seharusnya menjadi eksekutor pertama yang melindungi segenap rakyatnya dari bahaya pendangkalan aqidah. Namun negri kita masih erat memegang konsep sekuler, yang menjauhkan manusia dari aturan agamanya. Sehingga wajar kiranya apabila kita melihat negara malah memfasilitasi maksiat, seperti memperbolehkan mall-mall merayakan Valentine Day, bebasnya tontonan di layar kaca yang membawa budaya hedonis bagi remaja, menjamurnya budaya pacaran yang berujung pada seks bebas dan berlanjut pada aborsi dan berbagai penyakit kelamin lainnya. Di sisi lain, prinsip ekonomi kapitalis yang diemban negara, juga mendapat angin segar untuk tetap melestarikan budaya ini. Semaraknya Velentine Day dimanfaatkan pihak kapitalis dalam meraup keuntungan yang sangat besar. Jadi ketegasan negara sangat dibutuhkan untuk melawan imperialisme global atas nama valentine's day.
Sampai di sini, belum saatnyakah kita mau menguji kembali sistem sekuler kapitalis? Masih mampukah kirannya sistem ini digunakan menyelesaikan persoalan remaja kita dan lebih luas seluruh aspek bernegara? Ataukah tawaran sistem islam adalah solusi terbaik demi Indonesia lebih baik?