Kelangkaan Minyak Goreng, Bukti Keserakahan Penguasa Kapitalis




Oleh : Mauli Azzura

Indonesia adalah negara agrari,  luasnya lahan pertanian dan perkebunan ternyata mempunyai potensi cukup tinggi yang kemudian banyak dilirik oleh para pelaku usaha terutama swasta.

Dengan semakin mudahnya kepemilikan lahan, pengusaha kapitalis sangat lebih leluasa memiliki hak kepemilikan lahan, tak terkecuali lahan perkebunan yang mendatangkan keuntungan besar bagi mereka.

Dengan kepemilikan pribadi, mereka bebas berbuat sesuka hati termasuk mementingkan dunia ekspor dari pada mendistribusikan hasil produksi dikalangan dalam negeri. Oleh karena itu tak jarang perubahan harga pasar sangat bergantung pada pihak swasta dan pemerintah yang sama sekali tidak bisa mengontrol harga pasar secara stabil.

Selama 2014-2018, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 7,89 persen.

Penyusutan kebun sawit hanya terjadi pada tahun 2016 ketika luas kebun kelapa sawit sedikit mengalami penurunan sebesar 0,5 persen atau berkurang seluas 58.811 hektar. Terlepas dari itu, sejak tahun 2014 hingga tahun 2018, total luas areal kelapa sawit bertambah 3.571.549 hektar. Angka tersebut Kembali naik pada tahun 2019. Total luas kebun kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2019 adalah 14.456.611 hektar, meningkat dari tahun 2018 seluas 14.326.350 hektar. (Kompas.com 10/01/2022)

Angka yang fantastis, lalu mengapa dalam kurun waktu dua bulan ini terjadi kelangkaan minyak goreng?

Pertama : Imbas adanya pandemi covid-19 selama lebih dari dua tahun, mengakibatkan peredaran pasar dan pengadaan barang produksi menjadi jenuh dan cenderung beku. Akibatnya banyak perusahaan yang tak kuat modal, mereka gulung tikar karena tidak mampu membayar biaya operational perusahaannya. Belum lagi semakin ditambah lilitan hutang kepada bank yang bunganya terus membengkak tanpa adanya aktivitas maksimal dari produksinya, terjadilah vailid. 

Kedua : Setelah pandemi mereda, terjadilah permintaan barang secara besar-besaran , sementara stok barang ( produksi) kosong atau tidak memenuhi permintaan konsumen. Dan inilah petaka sekaligus momen emas yang di gunakan oleh pelaku usaha terutama swasta untuk meraup untung sebesar-besarnya dengan mengekspor hasil produksi minyak mereka ke luar negri , karena lebih mendapatkan  surplus dari pada mendistribusikan produksinya di dalam negri, yang sebenarnya juga mengalami kenaikan  permintan barang.

Lahan sawit yang berjuta juta hektar harusnya menjadi wewenang negara untuk mengelola dengan sebaik- baiknya , demi mencukupi kebutuhan rakyatnya. Akan tetapi justru sebaliknya, mereka telah di setir oleh swasta untuk mengendalikan ekonomi perdagangan negara. Negara bukan lagi pelayan rakyatnya tapi menjadi jongos dari para pelaku atau pengusaha kapitalis.

Inilah potret Negara Kapitalis,  mereka hanya mengambil keuntungan, bukan mengemban amanah  bahwa kekuasaan pemerintahan sebagai pelindung sekaligus mengayomi rakyatnya. Harusnya pemerintah mengelola dengan sebaik baiknya segala SDA yang terkandung didalamnya, tak terkecuali masalah perkebunan. Dan juga penguasa harusnya memegang kendali penuh dalam mengontrol harga pasar. Sehingga tidak terjadi ketidakstabilan harga produksi atau pangan secara keseluruhan. Karena kepemilikan umum tidak boleh berpindah tangan menjadi kepemilikan pribadi , kesemuanya itu adalah milik umum yang dikelola oleh negara dan hasilnya dilimpahkan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhannya.

Hal ini berbeda dengan Islam, Islam melarang tegas negara, ataupun individu untuk menswastanisasi harta milik umum (rakyat) tersebut, apalagi hingga dikelola oleh swasta/individu. Dalam Islam, negara berkewajiban mengelola harta milik umum, seperti air, tambang, dan lain sebagainya, dan hasilnya dikembalikan demi kesejahteraan rakyatnya. Sehingga kebutuhan rakyat benar-benar terpenuhi secara keseluruhan, tanpa ada yang kekurangan sedikitpun.

Hal tersebut tergambar pada masa kejayaan Islam. Yang mana, saat itu Rasulullah Saw telah memberikan izin kepada Abyadh untuk mengelola tambang garam. Rasulullah mengizinkannya. Namun, saat mengetahui bahwa tambang garam tersebut merupakan harta milik umum, Rasulullah Saw lalu mencabut pemberiannya tersebut dan melarang tambang tersebut dimiliki pribadi.

Rasulullah Saw bersabda : 

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api."
 (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Telah jelas  bahwa lahan sawit yang  menjadi kepemilikan swasta haruslah diambil alih, sehingga tidak ada kepentingan pribadi kecuali hanya semata mata untuk kepentingan umum dan dikembalikan pada kesejahteraan rakyat. Jika terus dibiarkan, tak heran jika semua SDA yang ada di negri ini akan berpindah tangan kepada pihak swasta. Dan inilah fakta keserakahan sistem kapitalis yang hanya menjadikan rakyatnya sapi perahan dan menggerus kekayaan alam , karakter itu hanya ada pada penjajah ( imperialis) .Saatnya kembali pada sistem yang benar, yakni penguasa yang amanah terhadap rakyatnya. Sehingga negri ini terbebas dari segala bentuk imperialis. 

Wallahu a'lam Bishowab

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak