Oleh : Ummu Mustanir
Kasus Asusila Mengancam Anak Belia
kasus asusila terhadap 13 murid SD yang menghebohkan dunia pendidikan di Kecamata Patimuan, Cilacap kini telah memasuki babak baru. Kejaksaan Negeri Cilacap (Kejari Cilacap) telah melimpahkan perkara ke tingkat Pengadilan pada hari Rabu (2/2/2022). ( timesindonesia.co.id Rabu 02 Februari 2022)
Seolah Kejahatan Mengintai Kita, Mengapa?
Peristiwa pelecehan seksual baik terhadap orang dewasa maupun anak-anak kian marak dan seolah tidak ada akhirnya. Peristiwa demikian bukanlah yang pertama kalinya terjadi, namun jauh sebelum itu pun telah sering terjadi. 13 siswi dengan usianya yang masih belia terpaksa memiliki beban mental berupa ingatan buruk tentang masa kanak-kanak nya dengan menjadi korban kejahilan gurunya sendiri. Hal yang sukar bukanlah penyembuhan fisik para siswi tersebut melainkan tentang bagaimana ia dapat berdamai dengan dirinya sendiri sehingga mampu menata masa depannya kelak.
Kian disorot sebab pelaku yang berstatus ASN selain menjadi guru matematika juga merangkap sebagai guru agama. Lantas, bagaimana seorang guru agama yang seyogyanya membina akhlak muridnya justru melakukan tindakan amoral terhadap anak didiknya? Dengan jabatannya sebagai seorang guru yang memiliki pengaruh dominan menyalahgunakan wewenang pemberian nilai. Pelaku mengiming-imingi korban hanya dengan meyakinkan akan diberi nilai bagus untuk melancarkan aksi bejatnya.
Betapa khawatirnya setiap orangtua yang masih memiliki anak di usia sekolah. Tentu orangtua adalah pihak yang paling merasa cemas dengan terjadinya peristiwa demi peristiwa pelecehan terhadap siswa di sekolah. Lantas jika kepercayaan orangtua terhadap lembaga pendidikan serta orang-orang yang berada di dalamnya kian menurun, tentu akan menghambat jalannya pendidikan. Terhambatnya pendidikan akan menghasilkan kualitas output yang tidak tidak sesuai harapan. Jika demikian apa kabar generasi kita di masa mendatang? Padahal mereka adalah agen yang akan menjadi pemimpin 30 tahun mendatang.
Anak-anak adalah pihak yang seharusnya diayomi dan mendapatkan kualitas pendidikan yang memadai supaya dapat mencetak generasi cerdas dan unggul. Namun, pemisahan antara aturan agama dari kehidupan terjadi terus menerus. Bahkan, hingga kini seolah telah menjelma sebagai produk adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun. Padahal bahaya akan terus mengintai manakala agama dipisahkan dari kehidupan. Pelecehan seksual terhadap anak usia dini adalah salah satu bukti gagalnya sistem memisahkan agama dari kehidupan membentuk keseimbangan hukum di tengah masyarakat. Ketika agama dipisahkan dari kehidupan alhasil seorang guru agama sekalipun berani melancarkan aksi amoral terhadap muridnya, bahkan tanpa ragu melakukannya di lingkungan pendidikan (sekolah). Sebab, aturan agama bagai api yang telah jauh dari panggang sehingga mampu membentuk sikap seorang guru yang demikian, aksi amoral itu terus dilangsungkan sebab kemungkinan besar pelaku telah acuh terhadap konsekuensi yang harus diterimanya dalam aturan yang berlaku. Tindakan pelaku adalah kejahatan yang melanggar pasal 81 ayat (2), ayat (4) UU RI No.17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU RU No. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Dewasa ini manusia bak diintai kejahatan seksual setiap waktu. Bahkan masa kini pelaku kejahatan seksual bisa berada di mana saja di sekolah, di pondok pesantren, bahkan di kantor polisi hingga di rumah sendiri. Para pelaku juga tidak pandang bulu mengenai pakaian korban, sebab orang yang telah menutup aurat pun bisa menjadi korban pelecehan seksual.
Cara Ampuh Mencegah Tindakan Amoral
Perkosaan dan pelecehan seksual lain adalah perbuatan yang dihasilkan dari pikiran dan pemahaman. Segala yang dipikirkan manusia merupakan hasil pengindraan fakta yang diproses dengan referensi dari sudut wawasan tertentu.Berbeda dengan hewan yang tidak diberi karunia berpikir untuk membedakan nilai benar dan salahnya sebuah aktivitas, sedangkan manusia memiliki akal sehingga dia punya alasan atas suatu tindakan.
Jika akal manusia diberi referensi yang salah, maka ia akan menilai fakta dengan pemahaman yang keliru dan akhirnya memiliki kesimpulan yang keliru juga. Sebagai contoh fakta perbuatan adalah hubungan seksual manusia. Hal itu bisa bernilai salah dan benar alias netral. Tergantung referensi pemahaman yang digunakan sebagai standar penilaian. Apakah syariat atau selainnya.
Saat membahas manusia sebagai makhluk berakal yang telah dibekali naluri berkasih sayang (gharizah nau’). Dia secara alami memiliki potensi untuk mencintai lawan jenis guna membangun rumah tangga untuk melestarikan jenis melalui fungsi biologis. Allah juga merupakan pada laki-laki dengan maskulinitas, sedangkan perempuan dengan feminitas. Kelestarian makhluk hidup juga ditentukan salah satunya dengan kemampuan berkembang biak. Itulah kenapa Allah menanamkan naluri ini kepada manusia juga.
Cara kerja gharizah nau’ dengan motivasi eksternal. Ketika organ reproduksi manusia telah siap secara fungsional, lalu ada rangsangan untuk melakukan perkawinan, ditambah ada kesempatan, maka dia akan melakukan. Ketika tidak ada aktivitas penyaluran hasrat, manusia tidak akan mati, hanya gelisah.
Jika Naluri nau’ ini di picu dengan tontonan pornografi, terjadi gejolak syahwat yang menuntut pemenuhan seks. Dengan pemahaman bahwa seks itu bagian dari kebebebasan berperilaku dan otonomi atas tubuh, maka sah dan wajar jika manusia yang sudah terlanjur terangsang tersebut mencari objek pelampiasan.
Di sini timbangan dosa dan pahala tidak berlaku. Yang ada adalah perbuatan tersebut dilindungi oleh hak asasi manusia. Sepanjang itu dilakukan dengan bertanggung jawab atau atas dasar persetujuan pasangan, tidak apa-apa. Mengonsumsi informasi porno saja boleh karena kebebasan dan HAM, apalagi seks bebas. Di samping, memang para pelaku ini berpemahaman bahwa seks itu kebutuhan jasmani sebagaimana makan dan minum.
Syariat Islam memandang bahwa seks akan jadi halal jika ada ikatan pernikahan. Itu saja. Maka ketika belum ada, hubungan suami istri antara lelaki dan wanita masih haram. Mengenai segala pemicu timbulnya hasrat seksual, telah dilarang pula. Semua yang berbau porno tidak boleh diproduksi, didistribusikan hingga ditayangkan di berbagai media. Karena ini semua termasuk referensi pemicu yang akan memanipulasi pemahaman pada akal manusia.
Sesungguhnya Islam telah menetapkan bahwa kehidupan lelaki dan perempuan terpisah kecuali pada aspek yang diizinkan seperti dalam ranah kegiatan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Maka dengan terbatasnya interaksi tersebut akan meminimalisir hubungan laki-laki dengan perempuan dan terutama mencegah adanya tindakan amoral yang terjadi antara keduanya. Tentu jika hal ini menjadi aturan hidup yang berlaku antar manusia, akan berdampak pada turunnya jumlah kejahatan seksual atau bahkan hilang sama sekali.
Wallahu'Alam bish shawwab
Tags
Opini