Oleh Irohima
Lagi-lagi umat Islam kembali mengelus dada. Setelah berbagai aktivitas sudah dilakukan secara offline, ternyata kasus Covid-19 kembali mengalami kenaikan. Mirisnya ibadah umat Islam yang dominan kembali dipersoalkan dan dijadikan alasan untuk menetapkan peraturan. Ini terbukti dari kebijakan yang massif disosialisasikan yaitu soal pembatasan ibadah bagi Muslim.
Kemenag kembali mengeluarkan surat edaran Nomor SE.04 Tahun 2022 yang ditanda tangani oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas tanggal 4 Februari 2022 di Jakarta yang beberapa poinnya mengatur tentang jarak antar jamaah dan jarak shalat, pelaksanaan kegiatan keagamaan maksimal satu jam. Pelaksanaan khutbah, ceramah atau tausiyah harus sesuai prokes. Diantaranya memakai masker atau face shield, durasi khutbah maksimal 15 menit dan pengurus ataupun pengelola tempat ibadah menyiapkan, menyosialisasikan dan mensimulasikan penggunaan aplikasi PeduliLindungi.
Kapasitas jamaah juga disesuaikan Kegiatan keagamaan untuk daerah di wilayah Jawa dan Bali dengan kriteria PPKM level 3, jumlah jamaah harus paling banyak 50% dari kapasitas dan maksimal 50 orang jamaah. Masih di Jawa dan Bali, untuk kriteria level 2 jumlah jamaah paling banyak 75% dan maksimal 75 orang, sementara untuk daerah level 1, paling banyak 75% dari kapasitas (CNN Indonesia, 07/02/2022).
Selain itu dalam surat edaran Kemenag juga terdapat aturan untuk tidak mengedarkan kotak amal, infak kantong kolekte atau dana apapun ke jamaah serta himbauan bagi warga yang berusia 60 tahun ke atas, ibu hamil dan menyusui untuk tidak keluar rumah.
Munculnya varian baru Omicron di Indonesia memicu kasus virus Corona melonjak dan diprediksi akan mengalami puncaknya di bulan Maret 2022. Lonjakan kasus pun terjadi bersamaan dengan kegiatan keagamaan kemarin dan akan bertepatan pula waktunya menjelang bulan Ramadhan tahun ini. Tidak menutup kemungkinan pelaksanaan kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan akan sangat dibatasi seperti dua tahun kemarin.
Karut marutnya penanganan Covid-19 menyebabkan persoalan Corona tak kunjung selesai. Berbagai kebijakan telah banyak diterapkan. Namun sayangnya akibat kesalahan kebijakan penanganan umat Islam terkesan makin dipojokkan dan dirugikan. Banyak hari besar umat Islam yang kerap digeser, dibatasi bahkan dilarang sementara perlakuan yang sangat toleran terlihat sekali diberikan kepada yang lain. Ibadah umat Islam menjadi dominan dikambinghitamkan. Sangat wajar jika umat merasakan ketidakadilan dan didiskriminasi di negeri sendiri.
Banyaknya masyarakat yang melihat fakta kebijakan penanganan Covid-19 selalu terkait dengan pembatasan ibadah umat Muslim. Maka tak heran jika alih alih membuat masyarakat taat prokes, justru kesalahan penanganan seperti ini akan mendorong banyaknya pelanggaran prokes dan menimbulkan tingkat kepercayaan masyarakat akan turun.
Sejak awal masuknya virus Covid-19 di Indonesia, penanganan yang terkesan lambat dan kurang menunjukkan keseriusan serta banyaknya sikap yang meremehkan. Ditambah dengan kebijakan yang tak tepat sasaran telah membuat virus Corona bertahan lama bahkan bermutasi ke varian baru.
Kondisi inilah yang membuat kita masih terus berkutat dengan pandemi dan semua dampak yang ditimbulkan oleh pandemi. Imbas dari pandemi telah meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lain sebagainya. Namun saat kita sedang melakukan pembenahan terkadang kita terpaksa mundur karena Covid-19 kembali mengalami kenaikan.
Tertatihnya langkah kita dalam menuju era bebas Covid-19 disebabkan penanganan dan penguncian wilayah secara total tak kunjung ditegakkan. Terkadang aturan tak selaras dengan aplikasi di lapangan, dampak dari aturanpun terkadang diabaikan, ditambah kurangnya kesadaran banyak pihak akan kesehatan. Maka inilah yang menambah runyam persoalan.
Islam mempunyai langkah yang tepat dan cepat dalam menanggapi sebuah persoalan, terlebih masalah yang terkait dengan kesehataan rakyat dan kepentingan umum. Islam telah mengajarkan kita bagaimana seharusnya menyikapi pandemi. Dalam Islam, negara dan pemimpin mempunyai peran yang paling penting dalam mengkoordinir penanganan pandemi. Beberapa langkah penanganan yang dilakukan negara dalam Islam diantaranya melakukan tes dan tracing. Begitu hasil tes positif maka akan dilakukan tracing, dimana seseorang yang positif terkena wabah akan didata tempat tempat terakhir yang dia kunjungi, serta siapa saja yang telah berinteraksi dengannya akan menjalani tes serupa, dan bila terbukti terpapar, negara akan mengisolasi dan mengobati mereka.
Langkah berikutnya adalah dengan mengkarantina secara total daerah yang terkena wabah. Menutup akses keluar masuk daerah tersebut. Dalam masa karantina, negara akan menyuplai seluruh kebutuhan masyarakat seperti logistik dan obat-obatan. Menyediakan fasilitas kesehatan dan memaksimalkan pengobatan bagi pasien. Negara akan memperkuat dan meningkatkan sistem kesehatan yang mencakup fasilitas, obat, SDM dan yang lainnya. Negara juga akan mendorong para dokter ataupun ilmuwan untuk menemukan obat dengan cepat.
Dalam Islam, kesehatan merupakan kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara, maka dari itu, negara akan memberikannya secara percuma atau gratis.
Islam mengajarkan, taat akan keputusan pemimpin adalah wajib adanya. Kebijakan dengan dibarengi kesadaran masyarakat untuk mematuhinya adalah hal yang sangat penting. Dengan mentaati segala kebijakan yang dibuat berlandaskan Al-Qur'an dan sunah, masyarakat bukan hanya terhindar dari bahaya wabah dan memutus mata rantai penularan tapi juga mendapat pahala.
Solusi yang diberikan Islam terbukti efektif, sejarah mencatat wabah Thaun yang pernah terjadi di jaman Umar bin Khattab bisa diatasi dengan solusi yang diajarkan Rasulullah saw. Langkah Umar yang mengkarantina total daerah wabah, menjamin seluruh kebutuhan masyarakat dan menutup akses keluar masuk terbukti mampu memutus mata rantai penularan wabah. Selayaknya sebagai Muslim , kita kembali pada aturan Islam yang secara nyata mempunyai konsep yang jelas dalam penanganan wabah, hingga kita tak terjebak lama dalam lingakaran pandemi. Terseok-seok menata ekonomi dan sibuk mencari alibi yang berujung kebijakan dengan rasa diskriminasi, membuat rakyat semakin banyak yang acuh dan tidak peduli.
Wallahu a'lam bishawwab