Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Kaum buruh kembali merasakan pahitnya kebijakan penguasa. Kali ini Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Persyaratan dan Pembayaran Jaminan Hari Tua menjadi sumber lain kerugian kaum buruh. Dalam peraturan tersebut, Menaker menetapkan dana JHT baru dapat dicairkan saat pegawai berusia 56 tahun.
Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menilai keputusan Menteri Ketenagakerjaan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, sama sekali tidak memudahkan masyarakat.
Padahal dana JHT adalah bagian dari harta pekerja yang diharapkan menjadi penopang saat ada kondisi tak diharapkan seperti berhenti bekerja karena faktor-faktor di luar ketentuan.
Kritik pun datang dari kalangan politikus, Anggota Komisi IX DPR RI, Alifudin, mengkritisi kebijakan baru pemerintah yaitu Permenaker No 2 tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT) baru dapat dicairkan setelah pekerja berusia 56 tahun. Ia menilai, kebijakan tersebut menyakiti hati rakyat khususnya para buruh," padahal dia mengatakan JHT merupakan tabungan hari tua yang iurannya dipotong dari upah buruh dan disetorkan ke Jamsostek atau BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola dana buruh, imbuhnya.
Bagi kaum buruh JHT merupakan bagian dari harta mereka ketika berhenti bekerja atau sebagai sumber keuangan di saat usia tua. Namun dengan peraturan yang baru ini tentu membuat para buruh (pekerja) menjadi was-was. Tak menjadi masalah jika para buruh mendapatkan uang JHT penuh selama 56 tahun, akan tetapi jika di tengah jalan para buruh terkena rasionalisasi baik itu pensiun dini atau PHK, dana yang sesungguhnya hasil jerih payah mereka sendiri ada syarat dan ketentuan jika ingin dicairkan.
Apabila kita mau mencermati, adanya JHT merupakan gambaran nyata dari eksploitasi kaum buruh atau pekerja.
Di saat yang sama pekerja dan rakyat secara umum tidak mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara. Negara diposisikan hanya sebagai regulator semata serta menyerahkan pengelolaan urusan rakyat kepada pihak swasta. Negara sama sekali tidak ingin menanggung jaminan masa tua rakyatnya.
Gaji buruh yang tak seberapa pun harus dipotong dengan alasan untuk jaminan masa tua mereka.
Agar gaji yang dipotong bisa memberikan keuntungan pada korporatokrasi, maka potongan gaji ditahan dan dikelola oleh pihak swasta.
Inilah bukti keburukan sistem kapitalisme yang mengeksploitasi kaum pekerja untuk menikmati keuntungan keringat mereka saat muda dan abai menjamin kebutuhan mereka saat membutuhkan.
Sangat kontras dengan perlindungan pekerja dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Dalam konsep sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Khilafah, kebutuhan masyarakat dibagi menjadi dua kategori yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar publik.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok yang meliputi pangan, sandang, dan papan akan diberikan secara tidak langsung. Negara membuka dan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, sehingga para lelaki tidak kekurangan pekerjaan dan mampu menghidupi kebutuhan keluarganya secara layak.
Adapun dalam aqad bekerja, baik pekerja maupun pemberi kerja harus memenuhi aqad ijarah.
Pekerja tidak berhak dan tidak mendapatkan konpensasi jika tidak memenuhi pekerjaannya, begitu pun sebaliknya pemberi kerja wajib memperlakukan pekerja dengan baik. Negara Khilafah akan memberi sanksi kepada pemberi kerja jika melakukan kezaliman kepada pekerjanya.
Sementara untuk jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang merupakan kebutuhan dasar publik, Khilafah wajib menanggung secara mutlak sehingga rakyat secara keseluruhan bisa merasakan pelayanan publik dengan gratis dan berkualitas dengan sistem pembiayaan berbasis Baitul Mal yang berasal dari pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara tanpa campur tangan pihak asing maupun swasta.
Dengan demikian, para buruh (pekerja) dalam Khilafah akan mendapatkan jaminan yang layak baik terkait pekerjaannya, upahnya, kesejahteraanya baik di usia muda maupun masa tuanya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini