Hukum Mati Dikebiri Di Alam Demokrasi



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Kondisi terdakwa kasus pelecehan seksual Herry Wirawan di Rutan Kebonwaru, Kota Bandung dalam keadaan sehat pasca ia dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum. Sebelumnya, Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap 13 orang santriwati Madani Boarding School Bandung Jawa Barat, Herry Wirawan, untuk dihukum mati saat persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1). Selain itu terdakwa diminta untuk dihukum kebiri kimia. Selain itu, Herry juga harus membayar denda 500 juta, membayar denda restitus kepada para korban 331 juta. Serta sangsi non material berupa pengumuman identitas, yakni identitas terdakwa disebarkan. Ia mengatakan tuntutan yang diberikan kepada terdakwa mengacu kepada pasal 81 ayat 1 ayat 3 dan 5 junto pasal 76 huruf D UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU junto pasal 65 ayat 1 KUHP. (www.republika.co.id, 21/01/2022)

Menanggapi hal tersebut Komisioner Komnas HAM Bela Uluing Hapsara  tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati tersebut karena bertentangan dengan prinsip HAM. Bela  menuturkan bahwa hak hidup seseorang tidak bisa dikurangi dalam situasi apa pun (non derogable rights). (www.jawapos.com, 13/01/22).

Hal inilah yang kemudian membuat polemik, tidak hanya pada tokoh masyarakat, tapi juga netizen di media sosial. Pro – kontra hukuman mati, selalu terjadi ketika disandingkan dengan pemahaman yang kebablasan tentang HAM.

Seperti diketahui, saat ini kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual belum mendapat hukuman yang bisa membuat jera pelaku. Sehingga menjadi wajar, jika kasus kekerakas seksual  terus merebak. Hukuman mati, yang dianggap oleh ahli hukum menjadi salah satu alternatif hukuman yang bisa membuat jera pelaku, justru menimbulkan polemik ketika mau diterapkan. Demikianlah ketika manusia diberi kebebasan untuk membuat aturan, mereka akan mengedepankan buah pikirnya meski belum tentu kebenarannya. Padahal, setinggi – tingginya Hak Azasi Manusia tidaklah boleh lebih tinggi dari Hak Azasi Allah.

Selain itu sistem demokrasi – liberal, telah memberi andil besar terhadap terbukanya peluang kekerasan seksual. Betapa tidak, sistem ini telah melonggarkan sistem informasi dan media terhadap pornografi dan pornoaksi karena bisa mendatangkan manfaat dan kebahagiaan.  Atas nama kebebasan pula, manusia bebas berekpresi, membuka aurot, bergaul berbas, sehingga kehidupan sosial didominasi rangsangan nafsu seksual, yang memicu terjadinya kekerasan. 

Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam, tidak ada kebebasan mutlak bagi manusia. Kebebasan manusia terbatas pada aturan Allah SWT. Yang dengannya manusia akan teratur dan terpelihara. Sebut saja tentang sistem sosial dalam Islam. Adanya hukum menutup aurat, larangan kholwat dan ikhtilat, akan meminimalkan rangsangan seksual di masyarakat. Apalagi kepedulian masyarakat yang terus beramar ma’ruf nahi mungkar. Sistem informasi dan media juga dikontrol ketat oleh penguasa, yang dengannya konten pornografi dan pornoaksi akan dihilangkan atau paling tidak diminimalkan. 

Selain itu, hukum yang diterapkan bersifat tegas. Seorang Qodhi atau hakim  hanya sebagai pelaksana hukum bukan sebagai pembuat hukum. Sistem Islam tegak diatas prinsip halal dan haram bukan kemanfaatan seperti dalam sistem demokrasi. Ketika sampai terjadi kekerasan seksual, Islam memiliki sangsi yang tegas, yang mampu memberikan efek jera ( zawajir) terhadap pelaku maupun masyarakat secara luas. Selain itu sangsi dalam Islam juga sebagai  menebus fosa bagi pelakunya (Jawabir).

Sanksi bagi pelaku kejahatan seksual  pemerkosaan sama dengan sanksi pelaku  zina yaitu dicambuk atau dijilid sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun bagi pezina ghoiru muhshan (belum menikah) dan dirajam yaitu dilempari batu hingga meninggal dunia apabila pelakunya muhshan (sudah menikah). Dan pelaksanaan huluman itu harus disaksikan masyarakat 

Terhadap para korban kekerasan seksual, negara akan memberi perlakuan sesuai faktanya, jika mereka benar-benar dipaksa maka mereka akan direhabilitasi dan negara akan mendukung mereka sepenuhnya. Apabila mereka terbukti memberi celah mereka akan dihukum sesuai tingkat kesalahannya. Demikianlah kesempurnaan hukum Islam terkait kekerasan seksual, maka keadilanlah yang akan kita dapatkan dan rasakan. Maka, sampaik kapankah kita masih belum tergerak untuk berhukum di bawah sistem pemerintahan Islam kaffah?
Wallahu A’lam bi ash-showaf

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak