Harga Kedelai Mengalami Kenaikan, Islam Solusi Kemandirian Pangan




Oleh: Hanifah Afriani

Tempe dan tahu adalah makanan protein yang paling terjangkau untuk masyarakat Indonesia. Tak heran makanan ini banyak diburu oleh masyarakat setiap harinya. Bahan utama pembuatan tahu dan tempe tak lain adalah kedelai. 

Permintaan kedelai di Indonesia pun sangat tinggi untuk pembuatan tahu dan tempe, namun sayangnya, harga kedelai kembali naik di beberapa hari belakangan ini. 

Harga kedelai mencapai Rp. 11.000 dari yang asalnya hanya Rp. 9.000/10.000, sehingga bentuk protes atas kenaikan harga kedelai para pengrajin tahu dan tempe sempat mogok produksi beberapa hari. 

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menjelaskan dua penyebab harga kedelai impor mahal di Indonesia. Penyebab pertama adalah cuaca buruk El Nina di Argentina, Amerika Selatan. Hal itu mengakibatkan harga kedelai per gantang naik, dari 12 dolar AS menjadi 18 dolar AS. Penyebab kedua adalah permintaan kedelai tinggi, terutama dari China. Menurut Mendag, China memiliki lima miliar babi dan pakannya adalah kedelai. Awalnya, kata Mendag, pakan babi di China bukanlah kedelai. Namun kini pakan utamanya adalah kedelai. "Apalagi baru-baru ini ada lima miliar babi di peternakan China itu makan kedelai," kata Lutfi. (Kompas.com, 19/02/2022)


Ketiadaan upaya Indonesia untuk swasembada pangan menjadikannya sebagai negara yang bergantung pada impor. Jika harga kedelai impor naik, maka itu juga berimbas pada kemampuan Indonesia mengimpornya. Hal ini akan berdampak sekali pada stok kedelai nasional.

Hal tersebut sebagai akibat Indonesia bergantung pada komoditas impor. Padahal Indonesia adalah negara agraris yang memiliki potensi penghasil kedelai yang luar biasa, ini malah diabaikan. Mengapa pemerintah lebih memprioritaskan pangan impor daripada memberdayakan potensi pertanian di negeri ini? Selain itu ketergantungan pangan Indonesia terhadap negara lain hanya akan mengakibatkan negara mudah dijajah dan dikuasai asing.

Fakta diatas menjadi bukti bahwa cengkraman kapitalisme dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian Internasional seperti WTO (World Trade Organization) menjadikannya tidak mandiri selalu bergantung pada pangan luar negeri.

Apalagi sistem kapitalisme yang memiliki modal yang berkuasa, bahkan banyak dari para penguasa hari ini adalah para pengusaha. Kapitalisme memiliki asas pemisahan agama dari kehidupan, berbagai cara bisa dilakukan hanya untuk kepentingan dan keuntungan semata. Bukan halal haram yang menjadi pegangan mereka. Tidak heran jika kedelai impor lebih menguntungkan para penguasa dan pengusaha, maka ini tetap akan dilakukan.


Berbeda sekali dengan sistem Islam yang mampu mewujudkan kemandirian pangan. Dalam pandangan Islam, pangan adalah masalah krusial. Karena itu, negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara harus mensubsidi besar bagi para petani agar mereka bisa memproduksi pangan. Biaya produksi ringan dan keuntungan bisa besar.

Politik pertanian dalam sistem Islam mengacu pada peningkatan produksi pertanian, dan distribusi pangan yang adil, diantara kebijakan yang akan diambil jika negara mau menerapkan sistem Islam, yaitu: 

Pertama, menghentikan impor dan memberdayakan sektor pertanian.

Kedua, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang telah tersedia, negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani, membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi pertanian lainnya, negara tidak boleh melakukan ekspor pangan sampai kebutuhan setiap individu terpenuhi dengan baik.

Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, hal ini pernah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab dengan memberikan harta dari baitul mal (kas negara) kepada para petani di Irak yang dapat membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan dari mereka. Negara juga harus memberikan akses air secara gratis kepada para petani.

Adapun ekstensifikasi dapat dilakukan dengan membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan lahan mati, menghidupkan lahan mati artinya mengelola tanah siap untuk langsung ditanami, setiap tanah yang mati jika telah dihidupkan oleh seseorang adalah menjadi milik yang bersangkutan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu (menjadi) miliknya. Dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim dengan menanaminya.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Setiap orang yang memiliki tanah akan diperintahkan untuk mengelolanya. Siapa saja yang membutuhkan, dia yang mengelola tanah. Negara akan memberinya modal dari baitul mal. Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain.

Ketiga, kebijakan pendistribusian pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Negara akan memastikan tidak ada kelangkaan barang karena Islam melarang penimbunan barang. Dengan seperti itu masyarakat tidak akan kekurangan dan kesusahan mendapatkan kebutuhan pangan.

Dengan mengadopsi kebijakan pangan dalam sistem Islam, kemandirian pangan akan terwujud.

Wallahu'alam bi shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak