Hapus Kecacatan Demokrasi dengan Islam Kafah

 

Oleh Cahaya Septi

Pelajar dan Aktivis Dakwah

Rencana pemindahan ibu kota negara akan mulai dilaksanakan dalam waktu dekat,   di tengah pandemi  belum mereda dan perekonomian belum membaik. Pemerintah tetap bersikukuh memindahkan ibu kota ke daerah Penajam Pesar Utara, Kalimantan Timur. Padahal banyak pihak  mengkritisi soal kebijakan yang telah disepakati para wakil rakyat dan pemerintah ini. Selain itu, masih ada persoalan lain seperti kelayakan lokasi, nasib warga sekitar dan dampak lingkungan.

Bahkan warga Kalimantan Timur, khususnya warga Penajam pesar Utara, juga merasa tidak pernah dimintai persetujuannya. Adapun dasar hukum yang mengizinkan pendirian ini belum ada sebelumnya dan berusaha dirancang dengan cepat. Karenanya muncul kecurigaan kalau pembangunan ini hanya menguntungkan salah satu pihak, terutama para pemilik lahan dan investor lokal maupun asing, bukan untuk rakyat.

Bukan yang pertama kali pemerintah dan wakil rakyat membuat aturan dan undang-undang yang tidak berpihak pada mayoritas rakyat terutama takyat kecil. Contohnya seperti UU Cipta  Kerja, UU Minerba, pencabutan subsidi energi seperti BBM dan gas, UU Ormas dan lain sebagainya. Demokrasi yang diharapkan bisa memperbaiki kerusakan yang ada nyatanya malah menyengsarakan rakyat. Padahal dalam sistem demokrasi disebutkan bahwa hukum dibuat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pada praktiknya yang tercipta adalah oligarki, yakni kekuasaan yang dikuasai segelintir orang dengan mengatasnamakan rakyat.

Pembuatan aturan dalam demokrasi akan selalu melahirkan kecacatan karena dibuat sesuai pesanan pihak tertentu. Kerusakan aturan itu pernah diungkap Menko Polhukam Mahfud MD. Pada tahun 2019, Mahfud menyatakan bahwa problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau-balau. Anehnya semua kepentingan kaum besar itu disahkan atas nama rakyat. Inilah  sisi buruk demokrasi, namun sayangnya banyak rakyat yang masih percaya kalau demokrasi akan menjadikan suara mereka berdaulat.

Demokrasi sejatinya adalah produk turunan dari sistem kapitalisme yang sedang menguasai dunia saat ini. Asas dan tolok ukurnya yang mementingkan materi telah membuat banyak kerusakan yang sulit untuk disolusikan. Adapun islam datang menjadi solusi bagi permasalahan manusia karena berasal dari sang pencipta, sistem ini berbeda dengan kapitalisme demokrasi dalam beberapa hal di antaranya:

1. Dalam Islan kedaulatan (hal membuat hukum) ada ditangan syariat, bukan pada rakyat maupun penguasa. 

2. Di dalam Islam ada Majelis Umat yang berfungsi menyampaikan aspirasi masyarakat dan menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar.

3. Khalifah sebagai penguasa wajib menjadi pelindung umat, yang layaknya perisai yang melindungi orang yang berperang dari serangan musuh.

Sesungguhnga tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan pembelaan pada umat kecuali syariat Islam. Janganlah kita terpedaya dengan slogan kedaulatan milik rakyat. Karena kenyataannya, hak-hak kita dirampas untuk diberikan kepada segelintir orang. Padahal Allah Swt. telah mengingatkan :

"Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah." (QS al-Infithar :26)

Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirannya menjelaskan bahwa ayat ini adalah ancaman, bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban sebagaimana sangkaan sebagian orang. Apa yang memperdaya kamu, wahai anak Adam, hingga durhka kepada Tuhanmu yang Maha agung sehingga engkau melakukan kemaksiatan dan membalas dia dengan tidak patut? (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, italic 8/341-342 [Maktabah Syamilah]

Karena itu kita tidak bisa mengharapkan kebijakan yang berpihak pada rakyat terus menerus, keadilan itu semua hanya ada dalam Islam. Maka banyaklah berdakwah dalam kehidupan sehari-hari agar orang tau bahwa keadilan hanya dalam Islam.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak