Food Estate: Menjadi “Buruh” di Negeri Sendiri



Oleh Alvera
Aktivis Dakwah


Tiga kawasan food estate yaitu Provinsi Kalimantan Tengah (Kab. Pulang Pisau dan Kab. Kapuas), Provinsi Sumatera Utara (Kab. Humbang Hasundutan) dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai digarap pemerintah sejak tahun 2020. Sebagai informasi, bahwa food estate menjadi salah satu program super prioritas dan strategis dalam pembangunan pertanian nasional tahun 2021.  

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Prof. Dedi Nursyamsi mengatakan, pengembangan food estate ini berbasis korporasi petani. Menurut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), pengembangan korporasi ini adalah bagian dalam mengokohkan ketahanan pangan Indonesia. Pengembangan pertanian berbasis kawasan korporasi petani pun difasilitasi dengan dana kredit usaha rakyat (KUR) untuk kemajuan, modern dan kemandirian petani. (Mediaindonesia.com, 01/04/2021)

Sampai hari ini kesulitan yang masih dihadapi para petani di antaranya adalah permodalan, pemasaran hasil pertanian, alat-alat pertanian yang modern, fluktuasi harga pangan, dan yang lainnya. Dengan korporasi petani, pemerintah melalui Menteri Pertanian memberi harapan, nantinya tidak lagi mengalami kesulitan tersebut bahkan akan tercipta kemajuan dan kemandirian bagi para petani.

Food estate sendiri adalah konsep pengembangan pangan yang terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan dan peternakan dalam satu wilayah. Program ini dianggap menguntungkan karena membuka lapangan pekerjaan yang besar. Selain itu bisa mengundang banyak investor baik lokal maupun asing. Para investor tidak terkecuali asing diberi kemudahan memiliki dan mengelola lahan di Indonesia dengan jaminan undang-undang. 

Dari hal di atas, kemajuan dan kemandirian bagi para petani sepertinya akan sulit terwujud. Malah bisa jadi mengarah pada feodalisme karena peran petani pribumi hanya akan menjadi mitra kerja alias buruh bagi para kapital. Keuntungan yang besar akan mengalir kepada para investor, sementara para petani ataupun rakyat akan banyak kehilangan kepemilikan tanah dan harus puas dengan hanya menjadi buruh. Menyedihkan!

Inilah yang terjadi pada sistem kapitalisme sekular. Sistem yang hanya berpihak kepada para kapital, mengenyampingkan kepentingan rakyat kebanyakan. Tenaga para petani dieksploitasi demi memenuhi keserakahan para pemodal. Kebebasan ekonomi telah menciptakan pemain kecil sulit bersaing dengan pemain yang bermodal besar. Persaingan ini mengarah pada pasar yang tidak sehat, yang menghasilkan monopoli pasar. Karena berorientasi pada keuntungan besar, maka timbul lah masalah upah rendah pekerja. Buruh selalu dalam keadaan tertekan dan dirugikan, sebagaimana yang terjadi belum lama ini, dengan digulirkannya undang-undang Ciptaker.

Berbeda dengan kapitalis, pemerintahan Islam memiliki solusi jelas mengenai urusan ekonomi pangan. Ketahanan dan kemandirian pangan menjadi hal mutlak yang diwujudkan pemerintahan Islam. Peran untuk mewujudkannya ada di pundak khalifah atau pemerintah. Sebagaimana Rasulullah saw.:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari)

Kendala yang dihadapi para petani tidak akan dibiarkan. Mulai dari lahan pertanian, permodalan, resarch, teknologi sampai infrastruktur, Islam memiliki pengaturan khas yang sangat berbeda dengan kapitalisme.

Terkait lahan pertanian, ada empat konsep pengaturan yaitu: Pertama, Islam memandang tanah memiliki tiga status kepemilikan. Tanah milik individu, milik umum, dan milik negara.

Kedua, dalam kepemilikan lahan pertanian, Islam memandang jika seseorang memiliki lahan tapi tidak dikelola, maka hak kepemilikannya bisa dicabut. Hal ini berdasarkan ijmak sahabat yang menyatakan bahwa “Orang yang memagari tanah tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.” 

Selanjutnya khalifah akan memberikan lahan yang diterlantarkan kepada para petani yang sanggup menggarapnya. Dengan demikian Islam tidak membolehkan ada lahan pertanian yang tidak produktif.

Ketiga, untuk mendukung agar pengelolaan lahan bisa dilakukan dengan maksimal dan kotinyu, khalifah akan memberi bantuan bagi petani baik itu berupa modal atau infrastruktur pendukung. Semua diberikan dengan harga yang murah  bahkan gratis.

Keempat, untuk lahan yang sudah beralih fungsi, pemerintah tentu akan mengembalikannya pada fungsi asal. Apalagi jika lahan beralih fungsi menjadi fasilitas yang tidak terlalu dibutuhkan masyarakat luas.


Demikianlah kebijakan negara yang menerapkan Islam kafah. Pelaksanaan kebijakan sistem pertanian didukung dengan sistem lainnya, dengan nyata akan mewujudkan kemandirian pangan serta kemandirian para petani.


Wallahu a’lam bishshawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak