Dilema PTM, Korbankan Generasi?



Oleh Sri Mariana,S.Pd
(Pemerhati  Keluarga dan Generasi)



Pandemi Covid-19 telah berlangsung selama dua tahun. Masyarakat pun merasa gerah dan lelah menghadapi kondisi pandemi yang terus berlarut-larut ini. Bukan hanya lelah menghadapi keganasan penularan virus Covid-19, tetapi juga lelah menghadapi kebijakan penanggulangan pandemi oleh pemerintah. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak berpihak pada kebaikan seluruh rakyat, selalu simpang siur dan senantiasa berubah-ubah, tebang pilih namun sama sekali tidak efektif dan efisien. Buktinya sampai sekarang pandemi belum dinyatakan berakhir meski berbagai aturan telah dipaksakan.

Dampak pandemi juga terjadi pada sektor pendidikan. Sejak dimulainya pandemi dua tahun yang lalu, proses belajar-mengajar tatap muka dihapuskan, diganti dengan sistem pembelajaran online demi mengurangi dan mencegah penularan virus Covid-19. Praktis sejak saat itu, hampir seluruh sekolah di Indonesia, mau tidak mau, siap tidak siap harus melaksanakan pembelajaran online yang notabene sangat sulit dilakukan kecuali di daerah perkotaan. 

Berbagai kendala pembelajaran online pun harus dihadapi baik oleh peserta didik maupun tenaga pengajar. Di antara kesulitan tersebut adalah terbatasnya akses ke perangkat komputer dan smartphone karena harganya yang tidak murah, jaringan internet yang lambat atau bahkan tidak ada sama sekali, harga kuota internet yang mahal, suasana yang tidak kondusif di rumah, orang tua yang tidak mampu mendampingi sepenuhnya dan masih banyak kendala-kendala lainnya. Semua kendala tersebut mengakibatkan ketertinggalan belajar bagi hampir semua siswa di Indonesia. 

Bahkan menghadapi Omicron ini pemerintah menilik kembali keputusan PTM 100%. Lagi-lagi, dunia pendidikan pun dibuat bingung. Awalnya pemerintah bersikukuh melaksanakan PTM 100%. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A, menolak tegas usulan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk menghentikan PTM 100%. Namun, kasus positif Covid-19 di Indonesia terus mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir. Melihat kondisi ini, pemerintah terpaksa mengambil langkah cepat dengan mengeluarkan kebijakan menghentikan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Suharti mengatakan, Kemendikbud Ristek dan sejumlah kementerian lain menyetujui diberikan diskresi kepada daerah berstatus PPKM level 2 mulai tanggal 3 Februari 2022. "Penekanan ada pada kata 'dapat' artinya, bagi daerah PPKM level 2 yang siap melaksanakan PTM terbatas sesuai SKB 4 Menteri dan tingkat penyebaran Covid-19 terkendali, sekolah-sekolah di daerah tersebut tetap dapat melaksanakan PTM terbatas dengan kapasitas siswa 100 persen," urai Suharti seperti dikutip dari laman Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Ristek, Jumat (4/2/2022). Suharti menambahkan, dengan kondisi saat ini, orangtua boleh menentukan anaknya mengikuti PTM terbatas atau mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) lagi (kompas.com, 04/02/2022)Seperti halnya pemerintah menolak ususlan penghentian PTM karena kasus covid, malah tetapkan PTM 50% karena kegiatan pemerintahan lain juga dibuka. Sementara menanggapi desakan ortu, kemdikbud memberi pilihan pada Ortu apakah PJJ atau PTM.
Kebijakan ini justru membingungkan dan membuat standar pembelajaran tidak terkontrol karena setiap orang bisa menetapkan sesuai pertimbangan sendiri.
Kebijakan-kebijakan yang diambil  pemerintah dalam aspek pendidikan ini, semakin menampakkan lemahnya negara dalam memberi jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Disebabkan karena kebijakan-kebijakan yang ada lahir dari sistem demokrasi kapitalisme. Sistem yang hanya memperhitungkan untung rugi saja tanpa memperhatikan keselamatan jiwa rakyat. 

Berbeda dengan sistem Islam. Sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai pondasi pertama dan utama. Sistem yang menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diambilnya akan penuh pertimbangan matang dan tidak akan menzalimi umat. Karena pemimpin dalam Islam adalah sebagai ra'in, yakni pengurus (pemelihara) dan junnah sebagai perisai (pelindung).

Islam menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Menjamin kesehatan, dan keselamatan rakyatnya, serta memenuhi fasilitas dan kebutuhan pendidikan untuk rakyatnya dengan kualitas terbaik dan gratis. Bahkan saat terjadi kondisi yang tidak memungkinkan semisal wabah, maka pendidikan tidak akan menjadi beban rakyat dan kualitas generasi tetap terjaga.

Tidak hanya itu, negara juga memastikan anggaran yang cukup bagi kebutuhan pendidikan. Baik pembelajaran dilakukan secara daring maupun tatap muka. Sehingga menghasilkan kualitas sumber daya manusia unggul. 
Ini semua bisa kita rasakan jika syariat Islam diterapkan secara kaffah.Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak