Deltacron Mengintai, Indonesia Terancam Krisis Ekonomi



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Indonesia dibayangi kemungkinan lonjakan kasus COVID-19 varian Omicron. Penularannya tak terelakkan karena berlangsung sangat cepat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menilai pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) perlu diperketat lagi. Meskipun, pelaksanaannya tidak harus sampai level 4. Hal ini disampaikan Tauhid saat diwawancarai detik.com pada, Minggu (23/1/2022).

Kenaikan kasus ini disebut perlu dilihat lebih lanjut apakah berasal dari transmisi lokal atau luar negeri. Jika transmisi lokal menyumbang kenaikan besar, maka pengetatan wajib terutama untuk mobilitas yang sifatnya horizontal antar wilayah.

Hal yang sama juga dikatakan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Menurutnya, upaya tracking (pelacakan), tracing (penelusuran), dan testing (pengujian) perlu ditingkatkan dalam mendeteksi sebaran kasus COVID-19. Begitu juga dengan perjalanan luar negeri yang perlu diperketat lagi dalam hal tracking, tracing dan testing. (www.detik.com, 23/01/2022)

Kalau kita cermati, APBN dalam sistem kapitalisme sumber penyebab krisis ekonomi. Sumber pemasukannya yang bertumpu pada utang dan pajak menjadikan APBN rawan defisit. Begitu pun pengeluarannya yang dikendalikan korporasi menyebabkan kebijakannya tak menyelesaikan masalah umat. Ditambah makin menguatnya oligarki yang menyebabkan kebocoran, tersebab sistem pengawasannya yang lemah. Maka, wajar berutang secara “brutal” dilakukan demi menyelesaikan pandemi dan menjalankan roda pemerintahan.
 
Sebenarnya sumber pemasukan APBN ada tiga, yaitu Pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti penerimaan SDA, Badan Layanan Umum, Hasil BUMN, dan Hibah seperti devisa, namun PNBP dan Hibah jumlahnya sangat kecil.
 
Lantas mengapa negeri kaya berlimpah SDA dari daratan, lautan hingga perut bumi, hanya menghasilkan PNBP sebesar 338,5 triliun? Artinya, sumber pemasukan dari SDA tidak lebih dari 10 persen anggaran. Padahal potensi sumber daya alam kita melimpah ruah?
 
Jawaban satu-satunya adalah karena sistem ekonomi yang diterapkan berbasis kapitalisme. Liberalisasi kepemilikan menjadi poin yang harus dijaga dalam sistem ini. Sehingga setiap orang, baik individu swasta dalam negeri atau pun asing boleh memiliki SDA yang berlimpah. Hal demikian menjadikan SDA dikuasai swasta. Dan swasta yang memiliki modal besar sehingga sanggup memiliki SDA adalah korporasi multinasional. Jadilah hegemoni negara adidaya semakin menggurita di tanah air tercinta. Lihat saja PT Freeport yang telah mengeruk habis potensi sumber daya alam non hayati. Mengapa pemerintah membuat undang-undang yang pro kapitalis dan menyengsarakan rakyat? Karena hakikat negara korporatokrasi menempatkan korporasi sebagai pihak yang paling diuntungkan. Kerja sama birokrasi dan korporasi telah nyata menyumbangkan aturan yang hanya memenuhi kepentingan mereka.
 
Oleh karena itu, selama kapitalisme masih menjadi platform sistem ekonomi negara, APBN akan terus defisit dan utang menjadi solusi tunggal untuk menutupinya. Inilah yang memicu terjadinya krisis ekonomi, terlebih di masa pandemi.

Sangat berbeda dengan sistem Islam,  pengaturan kepemilikan yang jelas akan menjadikan sumber APBN kuat. Misalnya kepemilikan umum seperti tambang, batu bara, air, sungai dll digolongkan menjadi kepemilikan umum yang haram dimiliki swasta apalagi asing. Sehingga hasil pengelolaannya oleh negara bisa maksimal diberikan pada rakyat. Kepemilikan umum ditambah dengan kepemilikan negara berupa fai dan kharaj, juga ditambah kepemilikan individu berupa zakat, infak, sedekah, menjadikan sumber APBN melimpah, hingga tak perlu memajaki rakyat apalagi berhutang pada negara kafir harbi.
 
Selain sumber Baitul Mal yang melimpah, khilafah pun memiliki kebijakan pengeluaran yang sangat ketat. Sehingga pengeluaran tidak boros dan mengenal skala prioritas, tentu prioritas utama adalah terselesaikannya urusan umat. Tak ada campur tangan asing dalam pemilihan khalifah, membuat kebijakannya bisa independen bebas dari setiran korporasi.
 
Lalu pengawasan terhadap implementasi seluruh instrumennya pun begitu ketat. Tidak seperti saat ini yang justru Lembaga rasuah dilemahkan demi langgengnya korupsi berjamaah. Dalam islam setidaknya ada rakyat, parpol, majlis umat dan majlis wilayah, yang kesemuanya menjadi pengawas terhadap apa yang dijalankan pemerintah.

Demikianlah, kini pilhan ada di tangan kita. Selama kita masih memegang kuat sistem kapitalis, kita tidak bisa lepas dari yang bernama krisis ekonomi, terlebih di masa pandemi. Satu – satunya solusi adalah dengan mengganti menjadi sistem Islam yang tidak hanya mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, namun juga mengundang berkah dari langit dan bumi. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak