Oleh: Hamnah B. Lin
Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi mengaku bakal melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. Hal itu ia sampaikan dalam agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI disiarkan di kanal YouTube MUI, Rabu (26/1) (HarianAcehIndonesia, 26/1/2022).
Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa beberapa masjid dianggap sering menjadi tempat penyebaran paham radikal. Merujuk hasil riset dari Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan yang diterbitkan Juli 2018 lalu, sebanyak 41 dari 100 masjid kantor pemerintahan di Jakarta terindikasi paham radikal.
Brigjen Pol. Umar Effendi pun menyatakan bahwa untuk merealisasikan upaya tersebut, Polri berencana melibatkan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI. Hanya saja, rencana ini justru mendapat banyak kritikan, termasuk dari Ketua MUI K.H. Cholil Nafis yang digadang-gadang akan diajak bekerja sama.
Saat wawancara dengan TVOne (31/1/2022), Kiai Cholil mengatakan pihak MUI sendiri belum pernah diajak berbincang soal rencana ini. Bahkan, ia mempertanyakan, mengapa hanya masjid yang jadi sasaran? Karena menurutnya, potensi radikal ada di mana saja, baik di instansi maupun tempat ibadah lainnya.
Wacana seperti ini sebetulnya bukan perkara baru. Sejak periode awal pemerintahan Jokowi, narasi melawan bahaya radikalisme dan terorisme seakan menjadi tagline utama dalam program kerja pemerintahannya. Bahkan, narasi ini kemudian disandingkan dengan proyek mainstreaming gagasan moderasi Islam yang sangat masif dilakukan dengan kucuran dana yang sangat besar.
Di antara keduanya memang saling berkaitan. Bahkan pengarusderasan moderasi Islam seakan melegitimasi tuduhan bahwa di mata pemerintah, ajaran Islam kafah adalah sumber tindakan radikal dan aksi-aksi teror yang meresahkan.
Pemerintah tampak sangat ingin meyakinkan publik bahwa radikalisme dan terorisme adalah persoalan utama bangsa yang wajib dilawan bersama-sama. Oleh karenanya, semua komunitas tidak luput dari program moderasi Islam, mulai dari anak-anak PAUD hingga kaum intelektual; sejak dari level homeschooling, hingga perguruan tinggi, bahkan pesantren.
Sungguh fitnah luar biasa yang ditujukan kepada Islam, dimana Islam dikatakan sebagai sumber tindakan radikal dan aksi-aksi teror yang meresahkan. Dan pemerintah mengatakan bahwa radikalisme dan terorisme adalah persoalan utama bangsa yang wajib dilawan bersama-sama. Benarkah demikian? Karena sepertinya ada yang salah dalam membaca akar masalah yang dihadapi bangsa ini.
Pandemi yang kini diumumkan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa Indonesia sudah mulai memasuki gelombang tiga virus corona (Covid-19). Kondisi itu ditandai dengan mulai naiknya kasus Covid-19 harian di Indonesia dalam sepekan terakhir (CNN Indodnesia, 1/2/2022), juga belum usai.
Lapangan pekerjaan kian sulit dicari, pendidikan yang makin pelik antara PTM atau daring, ekonomi kian terguncang, ibu rumah tangga kian stres dengan balada minyak goreng yang harganya fantastis dan pusing bagaimana agar dapur tetap bisa memasak, sedangkan tak ada uang masuk ke sakunya. Kenakalan remaja makin menyesakkan dada, kemiskinan dimana-mana, bayi kurang gizi, stunting, kelaparan, hingga riba dan zina ada dimana-mana.
Dimana letak gentingnya terorisme dan radikalisme dibanding dengan semua masalah pelik yang sudah tidak bisa lagi ditutupi oleh seluruh kebijakan-kebijakan yang tambal sulam dan terkesan sarat kepentingan. Mana yang harusnya menjadi persoalan utama. Rakyat seakan dibiarkan mati dengan urusannya sendiri. Tak ada pembela, tak ada pelindung, tak ada tempat mengadu atas semua permasalahan yang ada. Justru rakyat saat ini dibuat takut terhadap solusi hakiki dari akar masalah bangsa ini.
Namun umat tampaknya kian sadar, semua kekisruhan ini terjadi justru karena salah pengaturan, bukan karena Islam. Makin jauh jarak umat dengan Islam, justru makin kuat pula berbagai problem membelit seluruh perikehidupan rakyat. Lantas, bagaimana bisa Islam kafah menjadi kambing hitam?
Sesungguhnya rangkaian program-program ini tidak luput dari agenda global yang ingin menjatuhkan Islam, agar tidak tegak dimuka bumi.
Yang seirama, baru-baru ini Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar melontarkan pernyataan kontroversial tentang adanya 198 pesantren radikal yang terindikasi berafiliasi dengan jaringan teror. Pernyataan itu ia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, pada Selasa (25/1/2022) di Jakarta. Juga Saat membahas soal medsos radikal, Boy Rafli sempat menuturkan bahwa upaya pencegahan penyebaran konten propaganda terorisme adalah untuk membantu penurunan Indeks Risiko Terorisme (IRT) Target dan Pelaku. Makin turun IRT, berarti makin besar peluang menciptakan rasa aman dan nyaman dari ancaman terorisme di tengah masyarakat.
Ia menyebut bahwa pada 2021, IRT Target Indonesia ada di angka 52,22%, sedangkan IRT Pelaku ada di angka 30,29%. Menurutnya, angka-angka ini sudah melampaui target RJPMN 2020—2024 sebesar 54,36% dan 38,14%. Oleh karenanya pemerintah berani mengklaim bahwa mereka telah berhasil menekan kasus teror berikut risiko yang ditimbulkannya. Di antaranya melalui upaya kerja sama BNPT dengan Densus 88 dalam menangkapi 364 terduga teroris sepanjang 2021.
Penghitungan IRT sendiri sebetulnya digagas sejak 2016 dengan meniru Global Terrorism Index (GTI) yang dikeluarkan Institute for Economic and Peace (IEP) menggunakan data dari Global Terrorism Database (GTD) dan sumber lainnya.
Dalam situs visionofhumanity disebutkan bahwa data untuk GTD ini dikumpulkan dan disusun oleh National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) di University of Maryland. GTD berisi lebih dari 170.000 insiden teroris selama periode 1970 hingga 2019.
Dalam setiap publikasinya, GTI memberikan ringkasan komprehensif tentang tren dan pola global utama dalam terorisme selama 50 tahun terakhir, dengan penekanan khusus pada tren selama dekade terakhir. Periode 50 tahun ini dipakai sesuai dengan kebangkitan dan kejatuhan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) yang fenomenal.
Dalam laporan tahunannya tersebut GTI pun senantiasa memberi rekomendasi tentang apa yang harus dilakukan oleh setiap pemerintahan dalam menghadapi tren ancaman terorisme. Tentu disesuaikan dengan hasil temuan dan penilaian GTI di tahun berjalan.
Dengan demikian, jelas bahwa penanganan terorisme di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan penanganan terorisme di level global. Bahkan tampak terhubung dengan agenda perang global melawan teror (GWOT) yang dilancarkan Amerika pasca-Peristiwa 9/11 tahun 2001 yang penuh dengan rekayasa dan berhasil menstigma Islam dan ajarannya, juga berhasil memonsterisasi negara Islam alias Khilafah dengan boneka ISIS-nya sebagai musuh bersama.
GWOT besutan Amerika memang sarat dengan spirit menjegal kebangkitan Islam. Spirit ini mulai menguat sejalan dengan keruntuhan Soviet sebagai representasi peradaban sosialisme komunis dan kian tampaknya kebobrokan peradaban kapitalisme pimpinan Amerika.
Hal ini tidak lain karena Amerika berambisi mengukuhkan hegemoni tunggalnya atas dunia. Amerika sangat ingin merebut kepemimpinan internasional, baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, terutama atas negeri-negeri Islam yang kaya raya, termasuk Indonesia. Sementara tantangan paling besar yang dihadapi Amerika justru datang dari ideologi Islam.
Demi syahwat inilah Amerika menggunakan berbagai cara untuk memenangkan perang peradaban melawan Islam yang direpresentasikan oleh gerakan-gerakan Islam ideologis. Mulai dari penggunaan pola strategi hard power, hingga pola strategi soft power. Tentu keduanya perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan, terutama kolaborasi kekuatan strategis dari kalangan penguasa dan pengusaha yang loyal terhadap kapitalisme neoliberal.
Tampak yang hari ini sedang berjalan adalah pola strategi soft power, sebagaimana rekomendasi RAND Corporation dan The Nixon Centre. Kedua lembaga thinktank Amerika ini sama-sama melakukan pemetaan tentang orientasi politik umat Islam dalam kaitannya tentang
Barat, pemikiran-pemikirannya, tentang hubungannya dengan nonmuslim, serta pandangannya tentang syariat Islam dan negara Islam (Khilafah).
Maka umat saat ini semestinya terus mengasah kesadaran bahwa semua narasi yang sedang diaruskan adalah jebakan politik yang akan membunuh diri mereka sendiri. Sementara di luar sana, ada kekuatan oligarki dan kapitalisme global yang sedang merampas kehormatan dan kekayaan mereka dengan segala cara. Salah satunya tampak pada proyek raksasa pemindahan ibu kota negara.
Proyek ini justru menjadi bukti nyata tentang bahaya kekuasaan oligarki yang lazim dalam peradaban global kapitalisme neoliberal. Rakyat harus tetap waspada dan tetap menyuarakan kebenaran untuk membongkar kebusukannya di tengah hiruk pikuk serangan pemikiran yang bisa melemahkan pertahanan dan memalingkan visi perubahan ke arah Islam.
Maka janganlah semua kesukaran dunia hari ini membuat kita melepas kewajiban menyampaikan amar ma'ruf nahi mungkar. Karena umat butuh ini. Bangunkan umat dari tidur panjangnya, bangunkan umat sebagai singa pemberani pembela Islam dan pembawa solusi dari problem utama bangsa hari ini, solusi hakiki itu adalah kembali kepada syariat Islam dengan tegaknya pemerintahan Islam yang menjalankannya, yakni Khilafah Islamiyah, yang akan menyatukan umat diseluruh penjuru dunia.
WalLahu a'lam bi ashowwab.