Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat)
Masih panjang perjalanan buruh untuk mewujudkan kesejahteraannya. Mungkin kesempatan itu tidak akan terjadi bila masih di alam kapitalisme. Melihat setiap kebijakan yang keluar hanya merugikan buruh. Beberapa kebijakan yang merugikan buruh seperti perjanjian kerja waktu, upah minimum dan outsourcing tidak ada batas.
Belum tuntas masalah tersebut, lagi-lagi pemerintah menambah masalah baru. Di awal tahun, rakyat kembali mendapatkan kado pahit berupa aturan baru teknis pencairan dana JHT. Sejatinya, JHT merupakan hak bagi setiap buruh, tapi hak tersebut bisa dicairkan ketika memasukinya usia 56 tahun. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Kebijakan tersebut menuai polemik di masyarakat. Gelombang protes dan ancaman demo besar-besaran akan dilayangkan serikat buruh. Mereka meminta pemerintah merevisi aturan JHT. Bahkan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mencabut peraturan terkait. (cnnindonesia.com 15/2/22)
Aksi demo buruh dilakukan di berbagai daerah. Namun sayang seribu sayang, suara buruh bagai angin lalu. Pemerintah lebih memilih solusi baru daripada mendengarkan tuntutan buruh. Sebagai ganti JHT, pemerintah mengeluarkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Jaminan inilah yang bisa dicairkan ketika seorang pekerja misalnya terkena PHK.
Banyak pihak yang mempertanyakan, apakah JKP bisa menjadi solusi cepat dan tepat bagi buruh yang terkena PHK. Sedangkan payung hukum JKP adalah UU Cipta Kerja. Mengingat UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat menurut Putusan MK. Kritikan juga datang dari Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati mengatakan, JKP tidak bisa menjadi solusi atas kekisruhan klaim JHT ini. Manfaat yang belum diketahui dan penerima JKP yang diperuntukkan bagi pekerja korban PHK. Sedangkan fakta di lapangan banyak pekerja yang dipaksa mengundurkan diri. (tirto.id 14/2/22)
Sedari awal, peraturan JHT sudah bermasalah. Bahkan, jauh sebelum Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 diteken pemerintah dan sebelum pandemi Covid-19. Maka tak heran, peraturan ini hanya mendapatkan protes keras dan kritikan. Diperparah dengan tata kelola keuangan yang buruk, membuat dana JHT tidak bisa dicairkan segera.
Kebijakan ini sungguh zalim dan realitasnya pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha. Sungguh dahsyat, kolaborasi pengusaha-penguasa di bawah sistem kapitalisme. Berbagai kebijakan jauh dari kepentingan rakyat dan hanya berpihak kepada korporasi. Mereka menjadikan pemerintah sebagai regulator yang melegitimasi kebijakan demi memperkaya diri.
Permenaker ini keluar sebagai bukti kegagalan pemerintah memenuhi hak dan kebutuhan rakyat. Pemerintah juga gagal dalam mengemban amanah rakyat dalam tata kelola keuangan. Menunda pembayaran jaminan dicurigai pemerintah tidak mempunyai dana cukup. Sehingga tega mengeluarkan kebijakan untuk menahan hak buruh dalam jangka lama.
Dari kebijakan-kebijakan zalim ini, seharusnya menyadarkan umat tidak bisa lagi berharap pada sistem kufur ini. Sistem kapitalisme yang mementingkan manfaat tidak mampu menyejahterakan rakyat dalam segala aspek kehidupan. Umat membutuhkan sistem yang mampu menyelesaikan secara tuntas persoalan hidup. Sistem yang mampu menerapkan aturan Allah secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah. Sebab, hanya Islam yang diturunkan sang Pencipta yang mampu menyejahterakan umat secara nyata.
Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam. Negara berperan sebagai pelayan umat. Tentu mengutamakan kepentingan umat dari kepentingan lainnya. Memenuhi kebutuhan pekerja tidak berbentuk jaminan yang terbatas karena semua dijamin oleh negara.
Sejatinya, kebutuhan rakyat berupa pangan, sandang, papan, pendidikan bahkan kesehatan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Selain itu tunjangan dalam sistem Islam bukan berbentuk jaminan ala kapitalisme yang dananya dari rakyat sendiri. Melainkan dari kas negara atau baitul mal.
Pembahasan upah dilakukan oleh pegawai dan pekerja. Negara tidak berhak ikut campur atau menentukan batas upah. Dalam sistem Islam, upah tidak diukur berdasarkan standar minimum hidup tempat mereka bekerja. Namun, upah diberikan sesuai besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja. Negara hadir bila ada kecurangan atau permasalahan di antara kedua belah pihak.
Negara wajib mengingatkan para pengusaha atau pemberi kerja untuk memenuhi hak pekerja. Negara juga berhak mengawasi setiap kebijakan yang diberlakukan. Bahkan menertibkan dan memberi sanksi tegas untuk setiap kezaliman yang terjadi. Haram untuk mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja bahkan menunda-nunda hak mereka di balik peraturan. Itu termasuk kezaliman. Rasulullah ﷺ bersabda
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه إبن ماجة والطبراني)
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (HR Ibnu Majah dan at-Thabrani).
Hadits tersebut merupakan perintah bagi pemberi kerja untuk segera memberikan gaji/upah kepada pekerja setelah menyelesaikan kewajibannya sesuai kesepakatan yang ditentukan. Sebab, menunda, mengurangi bahkan tidak membayar upah termasuk bentuk kezaliman dan musuh bagi Allah dan Rasul-Nya.
Inilah bedanya negara dengan sistem kapitalisme dan Islam. Khilafah hadir untuk mengurusi dan melindungi semua kepentingan baik rakyat maupun pengusaha. Bertanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap individu rakyatnya. Alhasil, kesejahteraan buruh akan terwujud bukan lagi sekadar janji manis belaka. Wallahu a'lam bis shawwab.
Tags
Opini