Oleh Yuli Juharini
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda saat ini, pemerintah Indonesia ternyata telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara ( RUU IKN ) menjadi Undang-Undang ( UU ). Pengesahan UU IKN disepakati dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa, 18 Januari 2022. Dengan disahkannya UU ini, maka rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajem, Paser Utara, Kalimantan Timur, kian nyata.
UU IKN disahkan lewat satu ketukan palu Ketua DPR RI, Puan Maharani, setelah mendapat persetujuan secara aklamasi dari para anggota rapat paripurna ke 13 DPR RI masa sidang 2021 - 2022. Ketua Panitia Khusus ( Pansus ) RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa ibu kota baru tersebut diberi nama " Nusantara " yang selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara. (bbc.com, 18/1/ 2022 )
Dari sembilan fraksi di DPR, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) yang menolak UU IKN tersebut. Anggota fraksi PKS, Hamid Noor Yasin, mengatakan negeri ini masih dalam keadaan sulit, masyarakat masih berjuang melawan pandemi Covid-19, krisis terjadi mengakibatkan banyak rakyat kehilangan pekerjaannya dan angka kemiskinan bertambah.
Hamid juga menyinggung utang negara sebesar Rp 6.687,28 triliun setara dengan 39,69% produk domestik bruto. Sedangkan kebutuhan anggaran untuk IKN diperkirakan kurang lebih Rp 466 triliun.
Pengesahan UU IKN tidak hanya mendapat penolakan dari fraksi PKS, namun beberapa tokoh berencana untuk menggugat UU IKN tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa tokoh tersebut diantaranya, mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsudin, ekonom senior Faisal Basri, Guru Besar Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, eks jurnalis Jilal Mardhani. Dan tidak menutup kemungkinan masih ada beberapa lagi.
(fajar.co.id, 22/1/2022 )
Dalam negara dengan sistem demokrasi kapitalis, semua peraturan dibuat suka- suka. Tidak jarang peraturan dibuat sesuai dengan pesanan. Dimana ada keuntungan, di situlah peraturan diterapkan. Tidak peduli bagaimana nasib rakyat ke depannya. Rakyat dibuat bingung menghadapi peraturan yang kian hari kian memberatkan.
Untuk saat ini, rakyat semakin merana menghadapi kebutuhan hidup yang semakin hari semakin tak terjangkau. Bahan pangan semakin mahal, lapangan pekerjaan sulit didapat. Bahkan banyak yang terkena PHK, dampak dari pandemi Covid-19. Sementara negara seakan tidak mau tahu akan kebutuhan rakyatnya. Kalau pun ada bantuan sosial terkait pandemi, itu pun tidak semua rakyat menerimanya. Bahkan masih dikorupsi pula.
Dengan keadaan yang seperti itu, ternyata negara malah sibuk membuat Undang-undang tentang pemindahan ibu kota baru. Jadi, wajib dipertanyakan, mengapa negara begitu menggebu-gebu ingin memindahkan ibu kotanya? Siapa yang diuntungkan dengan kepindahan ibu kota yang baru?
Memindahkan sebuah ibu kota suatu negara tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Yang jelas perlu biaya yang tidak sedikit. Diperkirakan biayanya mencapai ratusan triliun. Akan banyak menarik para investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Para investor itu tidak akan memberikan dananya jika dirasa tidak ada keuntungan di sana. Sudah sangat jelas, yang diuntungkan dengan adanya pemindahan ibu kota baru itu adalah yang berkepentingan di dalamnya termasuk para investor.
Berarti kebijakan pemerintah disusun berdasarkan nilai kepentingan dan keuntungan, bukan berdasarkan kebenaran dan kemaslahatan rakyat.
Walaupun banyak pertentangan di dalam lnya, sepertinya pemerintah tidak akan bergeming dan tetap pada pendiriannya.
Berbeda dengan Islam. Negara yang menggunakan sistem Islam, maka semua kebijakan negara akan bersumber dari kitabullah yaitu Al-Qur'an sebagai sumber hukum yang direalisasikan pada semua peraturan hidup. Seperti yang terdapat pada surat An-Nisa ayat 59, " Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah Swt. (Al-Qur'an ) dan Rasul saw. (sunah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah Swt. dan hari kemudian. Yang demikian lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
Yang dimaksud dengan ulil amri atau pemimpin di sini tentu saja pemimpin yang selalu taat pada Allah Swt. dan Rasul saw.
Dalam riwayat hadis Muslim, Nabi Muhammad saw. berdoa kepada Allah Swt, " ya Allah, barang siapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barang siapa diberi tanggung jawab untuk mengurusi urusan umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka maka mudahkanlah hidupnya.”
Dari hadis tersebut dapat dipastikan bagaimana nanti nasib orang-orang yang sudah mempersulit hidup umat Muhammad saw.
Jadi solusi terbaik adalah kembali pada kehidupan Islam. Karena Islam bukan hanya sekedar agama, Islam juga merupakan sebuah ideologi atau mabda. Semua peraturan hidup manusia ada di dalam Islam. Dan itu pasti untuk kemaslahatan umat.
Selama negara Islam ( khilafah ) berdiri lebih dari 13 abad ( 622-1924 ), pemindahan ibu kota terjadi sebanyak 12 kali. Maksimal wilayah kekuasaannya 2/3 dunia. Jika dikisarkan selama 110 tahun, negara Islam ( khilafah ) baru pindah satu kali.
Sedangkan Indonesia, baru merdeka 77 tahun. Setidaknya perlu 33 tahun lagi untuk menyiapkan pemindahan pusat pemerintahannya, jika itu memang diperlukan. Dan khilafah pindah ibu kota bukan asal pindah, melainkan semua dilakukan untuk kemaslahatan umat.
Wallah a'lam bishawwab