Oleh : Rohani Hani
Tahun 2022 telah menyapa, namun rentetan derita wanita seakan belum menemukan ujungnya. Diera Kapitalis wanita dituntut untuk berjuang mencari nafkah, bukan sekedar membantu suami namun juga harus berperan menjadi mesin penghasil uang. Bila kita perhatikan, sering kita jumpai di perempatan lampu merah perempuan mengendong bayi sambil bawa kantong bekas permen untuk meminta minta. Ada juga di daerah Surabaya, perempuan penambal ban yang buka sampai malam, bahkan seperti nya tidur di mobil pick up nya . Selain itu banyak juga ibu rumah tangga yang mengambil kerja mengelem kertas dengan upah Rp.7.000 per 100 lembarnya.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 50,70 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan pada 2020. Jumlah tersebut meningkat 2,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 49,40 juta orang. Dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan ke tahun selanjutnya. (www.databoks.katadata.co.id, 07/10/2021)
Sekian banyak wanita ini meninggalkan keluarga mereka, padahal ancaman kekerasan bahkan pembunuhan berada di depan mata. Seorang ibu yang meskipun terus bekerja, penghasilannya tetap saja tidak cukup untuk membayar berbagai tagihan, termasuk untuk menutup tagihan makanan untuk hari - harinya. Kondisi yang sama juga dirasakan perempuan di seluruh belahan dunia. Betapa kemiskinan, pelecehan, penindasan, dan eksploitasi menghimpit kaum perempuan dimanapun ia berada.
Ada juga wanita pekerja dipabrik dengan gaji yang sangat minim dengan 3 ship. Bagaimana suami dan anak anaknya dalam periayahannya bila perempuan ship malam anak nya terbiasa tidur dengan ibu, namun ibunya bekerja. Pernah saya tanya pada seorang ibu yang pekerja dipabrik bila ship malam gimana bu? Ya saya tambah seneng disaat anak saya tidur saya tinggal kerja pagi pulang saya mengerjakan tugas rumah seperti biasa kayak gak ada beban.
Sistem kapitalisme pun memelihara kondisi lingkungan materialistik dan konsumtif agar sistem ini tetap bertahan, salah satunya dengan meluncurkan gempuran serangan propaganda yang mendukung sistem melalui berbagai media. Contoh kasus kecil, perempuan Indonesia yang notabene memiliki kulit berwarna kuning langsat diserbu dengan propaganda bahwa cantik itu berkulit putih. Maka, berlomba-lombalah wanita Indonesia membeli produk-produk pemutih kulit.
Perempuan akan semakin banyak yang meninggalkan keluarganya untuk bekerja, baik dalam keadaan terpaksa maupun sukarela. Semakin banyak anak-anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orang tua, sehingga akan semakin marak pula kenakalan anak-anak atau remaja dari mulai berbohong hingga terjerumus dalam kriminalitas serta pergaulan bebas. Angka perceraian pun semakin meningkat karena timbulnya konflik, salah satunya penghasilan istri yang lebih besar dibandingkan suaminya.
Sayangnya, pemerintah di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia justru terkesan mengabaikan fenomena yang menimpa perempuan di dunia ini. Pemerintah bahkan mendukung kondisi yang mendzalimi perempuan ini dengan membiarkan perusahaan-perusahaan mengeksploitasi pekerjanya, melegalisasi prostitusi sebagai jalan untuk pemberdayaan ekonomi perempuan.
Prof. Dr. Hamka dalam bukunya berjudul Buya Hamka Berbicara tentang Perempuan menuliskan, "Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang, dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.” (hlm. 15). Perspektif Hamka ini menunjukkan bahwa perempuan—terlebih dalam kapasitasnya sebagai ibu—berperan vital dalam pembangunan negara. Ini karena arah generasi tergantung didikan ibunya, mendidiknya menuju kebaikan atau malah keburukan.
Sejatinya seorang perempuan lebih baik dirumah dengan merawat suami dan anak, mengajari anak tentang apa saja karena ibu madarasah ula bagi anak anaknya. Oleh karenanya, selain pekerjaan rumah jangan lupa perempuan wajib pintar. maka mendatangi majelis Ilmu bisa menambah wawasan seorang ibu. Terlebih dengan gempuran ide moderasi saat ini.
Islam memuliakan perempuan di tengah penghinaan terhadap perempuan. Islam memerintahkan manusia untuk menghormati ibu (perempuan) tiga kali lebih dulu dibandingkan ayah. Melalui lisan Rasulullah Saw, diterangkan bahwa perempuan yang taat kepada suami, pahalanya menyamai orang yang berjihad di jalan Allah. Ketaatan ini bukanlah ketaatan "buta", tapi dengan dilandasi menaati perintah Allah dan keyakinan dalam memenuhi perintah Allah pasti ada jaminan kebaikan dan pahala dari Allah SWT.
Dalam riwayat yang lain disampaikan, barang siapa yang diamanati oleh Allah seorang putri, dan dididik secara baik, maka ia mendapat jaminan surga. Islam pun memuji perempuan sholehah sebagai sebaik-baiknya perhiasan dunia.
Peran perempuan di keluarga, masyarakat, bahkan bernegara sangat besar dan berpengaruh. Terutama dalam mendidik anak yang merupakan jembatan masa depan, penentu masa depan dunia. Peran perempuan, terutama ibu sangat menentukan kualitas generasi selanjutnya.
Islam tidak mewajibkan perempuan untuk bekerja, dan tidak pula ada larangan dalam Islam bagi perempuan untuk bekerja. Hanya saja, kini perempuan yang bekerja identik sebagai "alat komoditi" yang justru menguntungkan pihak kapitalis. Para wanita hanya diberi gelar “ pejuang keluarga”, nyatanya bamper akibat ketidakberdayaan negara mengurus rakyatnya. Wallahu a’lam bi ash showab.