Oleh: Atik Hermawati
Spirit doll atau boneka arwah telah viral setelah beberapa publik figur "mengadopsi" mereka. Layaknya anak manusia, mereka diberi makan, pakaian, diajak jalan-jalan, dan lainnya. Para pengadopsi mengungkapkan bahwa boneka arwah itu membawa keberuntungan. Apakah ini tren kekinian atau kebodohan? Lalu di mana peran negara?
Melansir dari BBC, awal spirit doll ini berkembang di Thailand yang disebut sebagai Luk Thep alias malaikat anak. Keyakinan masyarakat bahwa boneka itu merupakan tempat bersemayam makhluk metafisika yang membawa keberuntungan dan kemakmuran di masa depan yang harus dimuliakan seperti manusia. Kemudian mendorong para biksu di sana untuk mengadakan ritual dalam mengundang "pengisi" boneka.
Menanggapi fenomena ini Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Hasanuddin AF, mengatakan bahwa merawat spirit doll dengan keyakinan bisa memberikan keberuntungan itu tidak sesuai dengan akidah Islam. Keyakinan terhadap selain Allah SWT yang dapat menyebabkan suatu keberuntungan atau sebaliknya seperti kesialan dan kecelakan, ini sikap yang menyimpang dari akidah Islam. Perbuatannya disebut syirik dan pelakunya musyrik. Itu adalah dosa besar. (Republika.co.id, 06/01/2022).
Kerusakan Akidah Semakin Parah
"Arwah" yang dimaksud dalam boneka tersebut sejatinya ialah jin. Sudah dipahami bahwa menyekutukan Allah SWT ialah dosa besar. Tren spirit doll ialah kebodohan dan penyembahan berhala modern. Boneka yang seharusnya menjadi mainan "anak-anak" dalam bercerita dan untuk perkembangannya, namun kini diperlakukan berlebihan oleh orang dewasa.
Meskipun sudah tentu banyak yang bersuara itu adalah kesesatan dan kebodohan, namun tren boneka ini semakin diminati. Harganya pun bahkan menyamai harga kendaraan baru. Publik figur memang begitu diandalkan dalam mempromosikan apapun.
Inilah kehidupan di era kapitalisme. Pemisahan agama dari kehidupan menjadi asasnya. Walaupun bertentangan dengan syariat Islam, negara tak bertindak apa-apa bahkan tak berkomentar sama sekali. Urusan keyakinan dianggap ranah privasi yang tak boleh diganggu. Padahal kerusakan akidah harus dicegah oleh semua pihak, terutama negara. Berbagai macam aliran sesat dibiarkan, akidah umat digadaikan.
Kacamata bisnis dan manfaat membuat apa saja dilakukan demi pundi rupiah. Halal-haram jelas tak diperhatikan, yang penting tren dan laku di pasaran. Boneka plastik dihargai dengan harga yang di luar batas pun tak masalah. Lagi-lagi negara tak mencampuri.
Bagi pengusung childfree, fenomena ini membawa angin segar. Pasalnya mereka tak menginginkan anak, dan alternatifnya cukup memelihara boneka tersebut. Boneka dianggap lebih menguntungkan daripada harus memiliki anak. Jika fenomena ini dibiarkan, bagaimana nasib generasi mendatang?
Islam Menjaga Akidah
Lain halnya saat Islam diterapkan total dalam kehidupan masyarakat dan negara. Syariat menjadi asasnya, akidah masyarakat wajib dijaga. Pemenuhan gharizah atau naluri disesuaikan pada tempatnya sesuai aturan Sang Pencipta.
Menyayangi seorang anak ialah naluri manusia yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam hal ini, negara melarang ide childfree ataupun mengadopsi boneka arwah tadi. Segala yang bertentangan dengan syariat akan ditutup rapat. Semua itu tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Setiap orang atau kelompok yang berusaha merusak akidah umat, maka sanksi tegas akan dikenakan sesuai dalil dan ketetapan Khalifah. Hal itu sebagai zawajir (pencegah hal serupa) dan jawabir (penebus dosa bagi pelaku).
Masyarakat saling menasihati dalam kebenaran yakni melalui amar makruf nahi munkar. Jual-beli hanya boleh pada apa-apa yang dihalalkan Islam. Semuanya hanya bisa dijalankan dalam Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Sistem yang akan memanusiakan manusia.
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang hidup dari kalian setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dari perkara baru dalam agama; karena semua perkara baru adalah bid’ah dan semua kebidahan adalah kesesatan”. [HR. Abu Dâwûd no.4607 dan at-Tirmidzi no.2676]
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini