Toleransi dalam Islam



Oleh Ummu Syifa


Toleransi adalah sikap manusia untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, baik antar individu maupun kelompok. Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang artinya sabar dan menahan diri.  Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri.

Islam adalah sebuah agama sekaligus ideologi yang berisi tentang segala aturan, baik perkara individu, masyarakat bahkan negara termasuk didalamnya tentang toleransi. Dalam Islam, toleransi bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan dalam hari raya mereka. 

Hanya saja, isu toleransi saat ini adalah toleransi yang kebablasan yang menjadi 'senjata andalan’ moderasi beragama untuk menyebarkan pemikirannya, dengan tujuan agar ide mereka mudah diterima oleh umat Islam, sebab seolah-olah sesuai dengan Islam. 

“Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) melaksanakan kegiatan Kampanye dan Publikasi Kerukunan, Jum`at (31/12/21) di Kemenag Kota Banjarmasin. Kepala Kantor Wilayah (Ka.Kanwil) Kemenag Kalsel Dr. H. Muhammad Tambrin, M.M.Pd mengatakan Kementerian Agama tahun 2022 menjadikan penguatan moderasi beragama sebagai program prioritas. “Penguatan moderasi beragama menjadi prioritas utama yang harus dilaksanakan di Kemenag dan kecamatan, baik lintas agama maupun Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB),” katanya “(https://kalsel.kemenag.go.id/ 31-12-2021).

Setiap akhir tahun, umat Islam selalu dihadapkan pada perdebatan tentang perayaan natal dan tahun baru, mulai dari mengucapkan selamat natal, memakai atributnya, hingga menghadiri perayaan atau ritual perayaannya. Hal ini pun berulang di tahun ini, terlebih lagi propaganda moderasi beragama semakin masif digaungkan dengan dalih toleransi beragama dan menghormati agama lain. Upaya pengaburan ajaran Islam tentang hal ini semakin nampak nyata. Padahal konsep moderasi beragama sendiri sangat bertentangan dengan Islam, hal ini tampak jelas dari ide dasarnya, yang menyatakan bahwa semua agama benar dan semua agama sama. Barat telah berhasil menggiring pemikiran dan perilaku umat Islam untuk semakin meminggirkan Islam dengan program moderasi beragama ini di Indonesia. 

Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, K.H. Muhammad Cholil Nafis dalam cuitan di akun Twitter menyatakan, mengucapkan selamat Natal kepada umat nasrani diperbolehkan selama konteksnya untuk saling menghormati dan toleransi. ”Mengucapkan selamat Natal itu boleh dalam konteks saling menghormati dan toleransi. Apalagi yang punya keluarga nasrani atau sebagai pejabat. 2015 lalu, sudah saya jelaskan di media, bahwa fatwa MUI pada 7 Maret 1981 itu mengharamkan ikut upacara merayakan natalan.” (SINDOnews.com 18/12/2021)
Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengingatkan kita semua untuk tidak mengikuti tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang selain Islam, sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Sungguh, engkau akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal. Bahkan andai mereka masuk lubang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, yahudi dan nasranikah mereka?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari)

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, Fath al-Bari, menerangkan bahwa hadis ini berkaitan dengan ketergelinciran umat Islam karena mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah. Dalam konteks akidah dan ibadah, misalnya, ada sebagian muslim yang berpendapat tentang kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada kaum nasrani, bahkan kebolehan mengikuti perayaan Natal bersama.

Padahal jelas, segala bentuk ucapan selamat apalagi mengikuti perayaan hari-hari besar orang kafir adalah haram.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa kaum muslim dilarang ikut dalam perayaan Natal, apalagi yang dilakukan di dalam gereja, termasuk sekadar mengucapkan selamat Natal. Karena ucapan selamat Natal mengandung makna harapan kesejahteraan dan keberuntungan untuk kaum Kristiani dengan kelahiran Tuhan Yesus Kristus; ikut bergembira dan senang atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus; juga pengakuan dan keridaan terhadap kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Hal ini bertentangan dengan QS Maryam: 88-89 dan QS Al-Maaidah: 72-74.

Lebih jauh lagi, kita telah memahami bahwa agama yang diridai Allah hanyalah Islam. Dengan demikian, yang seharusnya kita serukan kepada mereka adalah agar mereka segera bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah Swt.. Oleh karena itu, mengikuti perayaan Natal dan tahun baru sebagaimana yang dilakukan oleh orang nasrani, termasuk mengucapkan selamat Natal kepada mereka atau memakai atribut Natal dengan alasan toleransi atau menghormati agama mereka, sesungguhnya merupakan toleransi yang kebablasan, yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Permasalahan ini sesungguhnya sudah sering dibahas dan terus berkembang dengan berbagai bentuk yang kadang tidak sama dan banyak ustaz ataupun ulama telah memberikan penjelasan secara tegas, bahwa merayakan Natal, memakai atribut Natal ataupun agama lain, dan mengucapkan selamat Natal tidak diperbolehkan dalam Islam. 

Majelis Ulama Indonesia pun sudah memfatwakan, hanya saja, seiring dengan makin massifnya propaganda moderasi beragama ke tengah-tengah umat, maka opini toleransi ini semakin menguat. Sebenarnya hal tersebut adalah toleransi yang kebablasan, karena Islam tidak mengajarkan hal demikian. Perang pemikiran terus terjadi, maka pemikiran yang salah ini harus dilawan dengan terus menggaungkan pemikiran Islam Kaffah ke tengah umat Islam. Wallahu’alam….

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak