Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Tarif dasar listrik (TDL) yang diproduksi PT PLN (persero) berada dalam diskusi kenaikan untuk tahun 2022. Rencana ini muncul seiring wacana pemangkasan subsidi listrik untuk PLN sekitar 8,13 persen. Dengan pemangkasan subsidi ini, maka pemerintah akan membayar PLN untuk menutup selisih tarif dari Rp61,53 triliun menjadi Rp56,5 triliun pada 2022. Dampaknya, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang ditanggung PLN menjadi lebih besar. (www.ekonomi.bisnis.com, 5/12/2022)
Sementara itu, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto mengatakan, rencana mengenai tarif adjustment ini sudah lama didengungkan. Adjustment atau penyesuaian tarif ini biasanya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kurs dollar, inflasi, dan juga harga minyak dunia (Tribunnews.com, 3/12/2021).
Rencana pemerintah menaikkan TDL tahun 2022 secara merata sungguh sangat membebani masyarakat. Karena seperti yang kita ketahui, ketika terjadi kenaikan listrik maka biaya produksi sebuah barang akan ikut naik. Dan imbasnya harga jual semua produk pun melonjak naik. Sementara penghasilan masyarakat pergerakannya seperti merangkak, bahkan adanya pandemi berdampak pada PHK yang terjadi di mana-mana. Akhirnya, rakyat lagi yang harus menanggungnya.
Listrik yang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat, seharusnya dikelola dengan baik. Pengelolaannya pun semestinya dilakukan oleh pemerintah tanpa campur tangan pihak swasta. Akan tetapi, prinsip dasar kapitalisme demokrasi, asas manfaat umtuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, telah menggeser peran negara ini. Sejatinya sebagai pelayan rakyat beralih menjadi penyedia jasa untuk rakyat. Layaknya pedagang yang menjual layanan energi, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) terus melonjak. Keterlibatan pihak swasta pun berdampak pada liberalisasi kelistrikan.
Penetapan UU ketenagalistrikan no. 20 tahun 2002, yang mengatur pembukaan ruang luas bagi pelibatan swasta dan pengelolaan dari hulu ke hilir menggunakan paradigma kapitalis yaitu untung rugi. Sementara Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya sebagai regulator, maka kenaikan TDL adalah sebuah hal yang wajar yang dibebankan kepada masyarakat, tanpa melihat dampak kesejahteraan rakyat yang dikorbankan.
Berbeda dengan islam, sebagai suatu ideologi yang sempurna, telah memberikan tuntunan dalam pengelolaan tentang kepemilikan umum.
Sabda Rasulullah Saw:
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api." ( HR. Abu Daud dan Ahmad).
Berdasarkan hadits ini, kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.
Dalam pandangan Islam, listrik digunakan sebagai bahan bakar yang masuk ke dalam kategori api. Sehingga statusnya adalah barang merupakan milik umum, dan menguasai kebutuhan hidup orang banyak. Oleh karenanya, status kepemilikannya pun seyogyanya adalah kepemilikan umum, bukan individu swasta dan haruslah dikelola oleh negara.
Dalam sebuah riwayat, Abyadh bin Hammal bercerita, ia pernah datang kepada Rasulullah meminta di beri tambang garam. Lalu beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki di majelis berkata, "Tahukah anda apa yang anda berikan, tidak lain anda memberinya laksana air yang terus mengalir." Ia berkata Rasulullah lalu mengambilnya dari Abyadh (HR. abu Daud, At-thirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain). Laksana air yang terus mengalir maksudnya cadangannya besar sekali karena yang di berikan adalah tambang, bukan di lihat dari garamnya.
Demikianlah nasib kaum muslimin saat ini, ketika kapitalis dipaksakan di seluruh negeri. Kesempitan tak berkesudahan terus menghampiri. Kesempurnaan aturan Islam pun tidak bisa kita rasakan, jika rakyat masih terpaku pada sistem kapitalisme. Maka sudah saatnya kita beralih kepada Sistem Islam Kaffah, yang akan membawa kehidupan penuh berkah. Wallahu a'lam bish showab.