Seruan Genosida Terhadap Muslim India



Oleh: Hamnah B. Lin

         Kami lansir dari CNN Indonesia, 19/1/2022, seorang ekstremis Hindu di India terlihat menyerukan pembunuhan besar-besaran terhadap umat Muslim dalam sebuah konferensi di Haridwar, negara bagian Uttarakhand, pada bulan lalu.
         "Jika 100 dari kita menjadi tentara dan bersiap untuk membunuh dua juta (umat Muslim), maka kita akan menang, melindungi India, dan membuatnya menjadi negara Hindu," kata seorang anggota partai sayap kanan Hindu Mahasabha, Pooja Shakun Pandey, dalam sebuah video acara tersebut yang tersebar.
          Dalam rekaman itu, terlihat seruan Pandey ini disambut meriah oleh kerumunan penonton. Di luar India, video ini menuai amarah masyarakat. Meski kejadian ini terjadi sebulan lalu, banyak masyarakat yang marah karena sikap pemerintah India yang minim dalam merespons komentar berisi ujaran kebencian itu.
         Beberapa masyarakat menilai respons pemerintah menunjukkan iklim kehidupan yang buruk bagi umat Muslim di India. Pengadilan Tinggi India kemudian melakukan intervensi pada Rabu (12/1), meminta respons dari negara bagian dan otoritas federal dalam sepuluh hari depan.
         Di sisi lain, Pandey dan beberapa orang lain telah diinvestigasi oleh kepolisian lokal terkait penghinaan agama. Menurut pejabat kepolisian di Haridwar, dakwaan ini dapat membuat mereka dihukum maksimal empat tahun penjara. Pandey dan beberapa orang lain masih belum memberikan komentar terkait protes ataupun investigasi tersebut.
         Menurut keterangan polisi Haridwar, Shekhar Suyal, kepolisian Uttarakhand sempat menangkap seorang pria yang menjadi pembicara dalam acara tersebut. Walaupun demikian, tidak jelas apa yang disampaikan pria tersebut. Pihak kepolisian juga belum mendakwa secara formal seseorang dalam kasus ini.
         Beberapa analis menilai kelompok Mahasabha Hindu merupakan ujung dari dukungan terhadap kelompok ekstremis Hindu, yang semakin meluas sejak Perdana Menteri India Narendra Modi berkuasa. Analis menuturkan, meski kelompok ini tak berhubungan langsung dengan partai nasionalis Modi, yakni Partai Bharatiya Janata (BJP), mereka kerap mendapatkan dukungan diam-diam. Pemerintah dinilai kurang memberikan respons akan komentar pedas kelompok ini, membuat mereka menjadi lebih berani.
          Analis juga menilai keadaan tersebut berpotensi membawa bahaya bagi kelompok minoritas, terutama Muslim di India. "Itu yang membuat Hindu Mahasabha berbahaya," kata seorang asisten profesor ilmu politik di Universitas Ashoka, Gilles Verniers. "(Mereka) seperti
telah menunggu momen ini selama beberapa dekade," lanjutnya.
          Menurut laman resmi kelompok Hindu Mahasabha, mereka memiliki visi mendeklarasikan India sebagai 'Rumah Nasional Masyarakat Hindu.' Dalam situsnya, kelompok ini juga mengatakan mereka tidak akan ragu "memaksakan" umat Islam India bermigrasi ke Pakistan, negara tetangga dengan mayoritas penduduk Muslim. Kelompok ini juga bersumpah akan membentuk sistem edukasi yang sesuai dengan ajaran Hindu versi mereka.
         Saat ini merupakan hari-hari yang berat bagi minoritas muslim di India. Pendukung Partai Bharatiya Janata (BJP), partai nasionalis Hindu yang berkuasa di berbagai negara bagian India, secara sistematis melakukan kekejaman terhadap warga muslim yang minoritas.
         Ironisnya, semua islamofobia yang dilegalkan oleh negara ini sudah berlangsung sangat lama. Sementara, lembaga-lembaga HAM internasional cenderung diam tidak bersuara. Padahal, konflik berbasis agama bukanlah hal baru di India.
         Meskipun sejak 1947 dinyatakan merdeka, India tidak benar-benar menjadi negara merdeka. Hingga saat ini. Ia tetap ada di bawah bayang-bayang Inggris yang telah berhasil memecah kekuatannya berdasarkan isu agama. Anak Benua India yang dulu kuat di bawah naungan Islam, kini terpecah menjadi beberapa negara bangsa. Masing-masing mereka diadu domba atas nama agama. Bahkan, muslim di India hingga hari ini menjadi objek penderita.
         Umat Islam tampaknya memang tak boleh bernapas lega. Pihak otoritas penguasa terus sengaja melegitimasi kezalimannya dengan undang-undang. Yang terakhir adalah pengesahan Amandemen Undang-Undang Kewarganegaraan India (CAB) pada 2020 yang menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan di India.
         Keberadaan UU ini cukup menuai polemik, tak hanya di dalam negeri India, tetapi juga di dunia internasional. UU ini dipandang antimuslim dan merepresentasikan supremasi Hindu di bawah pemerintahan Modi yang berambisi meminggirkan umat Islam lebih jauh.
          Betapa tidak, UU ini di antaranya mengatur percepatan perolehan status kewarganegaraan bagi para imigran nonmuslim asal tiga negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yakni Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Namun pada saat yang sama, umat muslim justru dipersulit untuk memperoleh kewarganegaraan.
         Diakui atau tidak, benih konflik agama di India sebetulnya sudah berurat akar sejak sangat lama. Yakni dimulai dari era futuhat Islam yang dilakukan kekuasaan Khilafah Umayyah pada abad ke-8.
          Namun sebetulnya, pada masa-masa berikutnya, kehadiran kekuasaan politik Islam di India mampu diterima sebagai kebaikan buat warganya. Hal ini sejalan dengan kedudukan Islam sebagai ajaran yang akidahnya sesuai dengan fitrah, memuaskan akal dan menenteramkan jiwa, serta syariatnya yang praktis dan solutif bagi problem kehidupan manusia.
          Penerapan syariat Islam oleh negara, bahkan bisa dirasakan kebaikannya oleh penduduk asli India yang sebelumnya hidup dengan sistem kasta. Tak heran jika kaum pribumi India akhirnya berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam secara sukarela dan bahkan menjadi pembelanya. Maka kita lihat selanjutnya, peradaban Islam cemerlang pun mampu tegak selama berabad-abad di India karena ditopang oleh rakyatnya.
        Kalaupun sesekali muncul konflik di dalam wilayah kekuasaan Islam, biasanya disebabkan rasa iri dan dendam yang terpelihara pada eks penguasa Hindu yang kian lama kian ditinggalkan oleh rakyatnya. Kesumat lama inilah yang mendapat tempat saat Inggris menjajah India. Pada masa itu, kolonial Inggris berkolaborasi dengan raja-raja Hindu India untuk mengusir kekuasaan politik Islam sekaligus menancapkan kuku-kuku penjajahan mereka di tanah Hindustan yang kaya raya.
         Pada masa kolonialisme Inggris inilah berbagai konflik justru masif bermunculan atas nama agama. Tercatat pada fase awal keruntuhan khilafah atau sekira tahun 1923–1928, terjadi lebih dari 30 konflik berlatar agama. Pada konflik-konflik itu, ratusan bahkan ribuan nyawa hilang sia-sia.
         Begitu pun pada masa-masa berikutnya. Pemerintahan Inggris Raya bahkan memilah wilayah Anak Benua India dan sekitarnya menjadi beberapa negara bangsa berdasarkan mayoritas agama. Muncullah negara India, Pakistan, Srilanka, Bangladesh, Burma atau Myanmar, Kashmir, dan sebagainya. Akibatnya benih konflik pun makin terbuka, baik di kalangan internal maupun antarnegara. Sementara bagi negara-negara penjajah, kondisi seperti ini tentu menguntungkan mereka.
          Kaum muslim india akan terus mengalami kedzaliman, jika sistem yang diterapkan adalah tetap sistem kufur. Sistem kufur telah membuat mereka semakin terpuruk, tidak bisa bangkit merdeka menghamba kepada Allah Yang Maha Kuasa.
           Maka menjadi tugas kita bersama mengembalikan Islam sebagai ideologi yang pernah terterapkan di tanah India, hingga mampu menjadikan muslim india hidup berdampingan dengan warga lainnya. Namun tentu saja, upaya ini harus dimulai dari hal yang paling mendasar. Yakni dengan membangun kesadaran ideologis pada diri umat Islam yang akan menjadi bekal utama dalam meniti jalan kebangkitan.
          Terus berjuang menegakkan Islam sebagai sebuah bentuk kesadaran akan kewajibannya. Dengan bersatunya energi mereka kaum muslim di india dan kita yang berada di luar india, insyaallah kemenangan akan segera kita raih, dengan terwujudnya sistem Islam yang berasal dari Allah SWT.
Wallahu a'lam biashawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak