Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Malam pergantian tahun selalu dihiasi kemeriahan-kemeriahan, seperti pesta kembang api atau perhelatan panggung-panggung hiburan, kumpul – kumpul warga maupun keluarga dan yang sejenisnya. Kondisi ini ternyata tidak surut juga meski kita belum benar – benar keluar dari kondisi pandemi seperti tahun ini. Sedangkan pusat-pusat perbelanjaan ramai-ramai menggelar diskon besar-besaran atau biasa disebut New Year Sale, mulai sore hari hingga pukul 00.00 sebagai tanda bergantinya tahun. Demikian pula kali ini, saat tahun berganti dari 2017 ke 2018.
Lalu, apa makna pergantian tahun ini? Itu sebenarnya yang harus menjadi catatan bagi kita, baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun warga negara Indonesia. Sejatinya, malam Tahun Baru sama saja seperti malam-malam biasanya, tak lebih dari sebuah pergantian hari. Satu yang membedakannya, peristiwa setahun sekali ini melambungkan asa dan harapan, agar esok hari pada Tahun Baru, lebih baik dari hari di tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun 2021, tentu meninggalkan banyak cerita dan catatan bagi kehidupan setiap orang. Ada kisah sedih, suka, kebahagiaan, dan masalah. Indonesia pun memiliki banyak kisah yang layak tetap diingat. Terjadinya banyak konflik sosial, tragedi, bencana, hingga peristiwa-peristiwa politik dan hukum, bisa dijadikan cermin. Lantas bagaimana dengan kondisi di level keumatan? Akankah tahun baru membawa bangsa ini lebih sejahtera dan berkemajuan? Jawabannya, nampak jauh dari harapan.
Di penghujung tahun 2021 saja, begitu banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Kehidupan mayoritas rakyat belum beranjak dari keterpurukan. Namun di saat sama, pemerintah sudah siap dengan kado kebijakan yang akan menyulitkan. Rencana BPJS yang akan menghapus fasilitas rawat inap, BBM jenis pertalit yang akan dihapus, padahal harga-harga kebutuhan belum normal di pasar, dan daya beli masyarakat pun kian hari kian melemah.
Alhasil memasuki tahun baru ini rakyat memang benar-benar harus siap siaga. Biaya hidup, jelas akan makin meningkat. Sementara pekerjaan layak kian sulit didapat. Menyusul ancaman rasionalisasi besar-besaran dan persaingan ketat akibat serbuan tenaga kerja asing yang dilegalkan. Namun ironisnya, sejak jauh hari pemerintah sendiri berani memasang target maksimal. “Indonesia Maju” bisa terealisasi di tahun 2045 mendatang.
Realitasnya, gap sosial di negeri ini sangat lebar menganga. Dan ini adalah akibat pengaturan ekonomi yang berbasis paham neoliberal kapitalistik, yang terbukti telah memproduksi ketidak adilan, bahkan menjadikan negara sebagai sumber kezaliman. Terbukti, begitu banyak kebijakan penguasa yang sangat antirakyat, dan justru menguntungkan para pemilik modal. Bahkan dalam membangun hubungan dengan rakyat, negara kerap berhitung untung rugi.
Begitupun, apa yang pemerintah banggakan dengan sebutan negara layak investasi yang dikaitkan dengan predikat utang seharusnya dibaca sebagai sebuah kehinaan. Karena, di balik kata investasi, hakikatnya ada praktik eksploitasi kekayaan milik umat. Dan di balik praktik pinjaman utang, ada jalan lebar untuk praktik penjajahan.
Begitu baiknya negara kepada para pemilik modal, sampai-sampai mereka diberi begitu banyak kemudahan. Maka demi dan atas nama akselerasi investasi ini, pemerintah menetapkan kebijakan yang meminimalisir kendala regulasi dan policy, mempercepat transformasi ekonomi, dan penyederhanaan birokrasi. Wajar jika banyak yang menyebut, bahwa negara ini tak ubah sebagai sebuah korporasi sehingga layak disebut sebagai negara korporatokrasi. Dalam sistem ini, penguasa dan pengusaha berkolaborasi, mengelola negara dalam hubungan simbiosis mutualisme. Penguasa butuh sokongan finansial, pengusaha butuh kebijakan yang menguntungkan. Adapun rakyat diposisikan sebagai objek jarahan sekaligus sumber mencari keuntungan.
Bentuk negara seperti ini memang lazim ada di tengah hegemoni kapitalisme global yang tegak di atas asa sekularisme dan kebebasan. Dalam sistem ini, negara diminimalisir perannya hanya sebatas regulator saja. Sementara peran ri’ayah atau pengurusan umat diberikan kepada pihak swasta.
Sungguh datangnya tahun baru ini tak akan memberikan harapan apa pun sepanjang rezim korporatokrasi ini berkuasa. Sehingga sudah semestinya umat segera mencampakkan sistem batil ini dan menggantinya dengan sistem Islam yang tegak di atas paradigma yang tegak di atas hukum syariat. Sistem Islam akan mendudukkan negara dan pemimpinnya sebagai perisai dan penggembala. Selayaknya gembala, negara dan penguasanya akan mengurus rakyat yang menjadi gembalaannya dengan sebaik-baiknya. Kebutuhan sandang, pangan, papan akan dipenuhi dengan baik. Dan semuanya akan mewujud melalui penerapan syariat Islam.
Maka, jika kita menginginkan adanya harapan baru di pembuka tahun baru ini, kita perlu atur langkah. Mengubah visi dan misi hidup, yakni bagaimana agar syari’ah Islam bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Selama kita masih diatur dengan sistem yang sama, maka pergantian tahun hanya akan memberi harapan hampa. Wallahu a’lam bi ash showab.