Refleksi Hari Ibu, Tantangan Para Ibu Di Tengah Serbuan Arus Moderasi



Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga

Tanggal 22 desember, menjadi hari istimewa bagi sebagian masyarakat Indonesia. Naluri melestarikan keturunan, yang terefleksi dalam bentuk rasa kasih dan sayang, sering menemukan momentumnya di tanggal istimewa ini. Meski terhitung paling akhir dibanding negara – negara lain di dunia, namun Indonesia tetap mengambil moment hari ibu, sebagai hari besar nasional. 

Menurut penjelasan di situs Kementerian PPA, Hari Ibu hadir melalui keputusan Kongres Perempoean Indonesia III di Bandung pada 22 Desember 1938. Tujuan peringhatan Hari Ibu di Indonesia adalah mengenang dan menghargai perjuangan perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. 

Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Giwo Rubianto, juga menegaskan bahwa Hari Ibu di Indonesia lebih dari sekadar "Mother's Day."
"Peringatan Hari Ibu lebih dari sekadar mother’s day. PHI adalah momentum kebangkitan bangsa, penggalangan rasa persatuan dan kesatuan serta gerak perjuangan perempuan dalam berbagai sektor pembangunan untuk Indonesia maju," ujar Giwo dalam diskusi virtual bersama Kementerian PPA pada Desember 2020. Menurut Giwo, peringatan Hari Ibu juga menjadi kesempatan untuk mengingatkan masyarakat agar kualitas hidup dan hak perempuan bisa setara dengan laki-laki.

Pandangan seperti di atas, adalah pandangan yang sejalan dengan arus moderasi beragama yang saaat ini memang digencarkan. Moderasi beragama yang diaruskan saat ini menyasar juga pada cara pandang agama terhadap laki-laki dan perempuan serta hubungan antara keduanya. Ini terkait dengan karakter Muslim moderat yang diinginkan Barat. Barat menghendaki Muslim moderat menyebarkan dimensi budaya universal (baca: Barat), yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum non-agama, menentang terorisme  dan kekerasan1 (sesuai tafsiran Barat).

RAND Corp., yang merupakan salah satu lembaga think tank kebijakan global AS, memandang bahwa kelompok perempuan bisa menjadi komunikator utama penderasan Islam moderat.2 Karena itu RAND Corp. mengeluarkan isu-isu gender yang bisa mendorong perempuan memperjuangkan Islam moderat. Lembaga ini mengklaim bahwa perempuan adalah pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam. Mereka pun paling tidak diuntungkan dalam penerapan syariah Islam yang kaku. Hukum Islam yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam kewajiban bekerja, kepemimpinan, pakaian, hak waris, poligami dan sebagainya dianggap sebagai wujud diskriminasi. Karena itu kesetaraan gender harus diwujudkan sebagai salah satu ciri Muslim moderat.
 
Kalau kita perhatikan dari sisi sejarah gerakan feminisme dunia, kita akan dapati bahwa perubahan sosial yang terjadi di Eropa pada Abad 18, ketika sistem feodalisme digantikan oleh sistem kapitalisme, ternyata tidak serta-merta mengubah kondisi kaum perempuan yang sejak semula memang tertindas. Bahkan nasib kaum perempuan semakin terpuruk ketika harus menanggung beban ganda; sebagai ibu dan sebagai buruh, dengan gaji yang jauh lebih kecil dari kaum lelaki. Dari sinilah kemudian muncul upaya untuk menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan yang kemudian disebut sebagai feminisme. Inti dari gerakan feminisme adalah pemberontakan terhadap tatanan masyarakat yang mereka anggap bersifat patriarkis, termasuk terhadap ide-ide teologis (agama) dan institusi sosial kultural yang sering dituduh sebagai pangkal dari ketidakadilan sistemik perempuan.

Sementara itu Islam, yang lahir pada Abad 7 M membawa ajaran yang memuliakan kaum perempuan. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dari sisi kemanusiaannya.  Karena itulah para feminis merasa mendapatkan legalitas dalam Islam.  Untuk menguatkan arus moderasi kaum perempuan melalui feminisme, dibuatlah propaganda-propaganda dari tokoh-tokoh feminis yang mengklaim sebagai feminis Muslim.  Bahkan mereka telah menyelenggarakan Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon tahun 2017 lalu untuk memperkuat agenda perjuangan kesetaraan gender di kalangan ulama perempuan.
 
Islam memandang laki-laki dan perempuan, dalam tabiatnya sebagai manusia, adalah sama di sisi Allah.  Mereka sama-sama dijanjikan pahala dan surga jika beriman dan beramal shalih serta diancam neraka jika ingkar dan durhaka. Namun, secara kodrati, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam peran dan fungsi di tengah keluarga dan umat.  Perbedaan ini diikuti oleh perbedaan hukum antara keduanya, yang merupakan solusi bagi permasalahan keduanya dengan solusi yang sebaik-baiknya.

Perbedaan-perbedaan ini tidak dipandang sebagai pengistimewaan yang satu daripada yang lain atau sebagai diskriminasi Islam atas kaum perempuan.  Islam memberikan nilai kemuliaan bukan pada jenis perannya, tetapi pada sejauh mana kedua pihak melaksanakan peran-peran ini sesuai tuntunan Allah SWT.
Dengan demikian keduanya bisa bekerjasama (ta’awun) saling mengisi, saling melengkapi secara produktif untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan.  Inilah seharusnya pemahaman yang dimiliki oleh para wanita muslimah di tengah gempuran ide – ide moderat yang terus digaungkan oleh para pengusungnya. Wallahu a’lam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak