Rapot Merah kekerasan Seksual dan Regulasi Berbasis Kesetaraan Gender




Oleh Leihana 

(Ibu Pemerhati Umat)


Menghitung hari, silih berganti di lembaran tahun 2021 banyak sekali cerita sedih, miris dan ironis. Di penghujung tahun pun tidak luput dari pemberitaan kasus buruk, diantaranya yang menimpa kaum perempuan. Menambah catatan kelam data kekerasan atau kejahatan seksual yang menimpa kaum perempuan berita tentang kejahatan dan penganiayaan yang menimpa seorang perempuan yang menggunakan jasa taksi online grab. Korban dianiaya dan dilecehkan oleh supir taksi online tersebut, perusahaan Grab yang menaungi pelaku dalam usaha taksi onlinenya menyatakan menyerahkan penyelidikan kepada pihak kepolisian dan dari pihak perusahaan akan memberikan sanksi yang dapat diberikan kepada pelaku berusaha pemutusan kemitraan. Karena menurut Iki Sari Dewi Directors of Bussines Perusahaan Grab Indonesia bahwa perusahaan Grab tidak mentolerir bentuk kekerasan dalam bentuk apapun. (cnnindonesia.com, 26/12,2021)


Beberapa sanggahan diungkapkan oleh pelaku pelecehan terhadap penumpang taksi online itu, meskipun kasus ini telah dilaporkan oleh korban ke pihak kepolisian. Sebab dalam kasus ini bukan hanya pelecehan seksual yang menimpa korban tetapi juga penganiayaan. Ketika korban berusaha melawan korban beserta saudaranya yang bersama dalam mobil taksi online itu dihantam dengan pukulan dan tendangan. Menurutnya korban berinisial NT pelaku awalnya marah karena korban sempat muntah, kemudian korban meminta maaf dan memberikan sejumlah uang untuk biaya cuci mobil tetapi pelaku justru semakin marah dan berusaha melecehkan korban secara seksual ketika korban melawan pelaku menendang perut korban. Peristiwa itu bahkan disaksikan dan dilerai oleh warga di tempat tujuan korban tetapi pelaku terus melawan dan berkelahi dengan adik sepupu korban yang tidak terima dengan perlakuannya. (idntimes.com, 24/12/2021)


Kebiadaban yang menimpa korban-korban pelecehan seksual sepanjang tahun 2021 selalu yang mendapat perhatian publik dan direspon cepat oleh pihak berwenang adalah selalu kasus-kasus yang viral dan mengemuka di media terutama di media sosial. 


Diantaranya rangkuman kasus pelecehan seksual yang viral tersebut sepanjang tahun 2021 adalah yang paling menggemparkan adalah kasus pencabulan 21 santri oleh seorang Guru  bernama Herry Wirawan hingga beberapa santriwati itu hamil dan melahirkan. Diketahui kasus ini telah terbongkar di pertengahan tahun 2021 dari laporan salah satu korban yang merupakan santriwati baru namun berita kasus ini baru viral di akhir tahun 2021. 


Sementara yang kedua adalah kasus pencabulan oleh seorang guru ngaji berinisial F terhadap seorang muridnya yang berusia 12 tahun di Bekasi Jawa-Barat. Kasus yang ketiga adalah pencabulan dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap rekan kerjanya selama tahun 2012-2014. Meski korban telah melapor ke pihak berwajib berkali-kali tindakan yang diberikan hanya pemindahan devisi terhadap pelaku bahkan kasus ini baru viral di September 2021. 


Yang keempat adalah kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah seorang wanita penumpang Commuter Line yang baru mendapat respon setelah viral dari postingan penumpang lain di Twitter, dan yang kelima adalah kasus perkosaan yang  dilakukan oleh seorang ayah kandung terhadap tiga anak perempuan kandungnya di Luwu Timur. (suara.com, 24/12/2021) 


Demikian sedikit potongan kecil dari kasus pelecehan seksual yang terungkap ke media, dan sangat mungkin faktanya kasus yang tidak terungkap lebih banyak lagi. Yang lebih menyedihkan dari catatan kasus ini adalah rapot merah penanganan kasus kejahatan seksual oleh pihak berwenang. Secara sekilas dapat disimpulkan kasus kejahatan seksual selalu mendapat respon serius setelah terungkap ke media. Beberapa kasus yang secara langsung dilaporkan korban kepada pihak berwajib seperti kasus pelecehan seksual yang dilakukan karyawan KPI itu tidak mendapat respon serius. pihak berwajib menyerahkan penanganan kasus ini kepada internal KPI sedangkan dari pihak KPI tidak memberi sanksi yang memberatkan hanya sekadar memindahkan divisi tempat pelaku bekerja, yang justru menjadi bibit kejahatan seksual di divisi lain dan berpeluang menambah jumlah korban. 


Kemudian kasus ini baru diberi perhatian serius saat KPI mendapat sorotan karena memberi peluang pelaku kejahatan seksual yang telah dibebaskan untuk kembali tampil di layar kaca dan barulah terungkap kebobrokan internal KPI yang tidak memandang kejahatan seksual sebagai hal yang srius untuk ditangani. 


Rapot merah juga bukan hanya didapatkan pihak kepolisian tetapi justru rapot merah penanganan kejahatan seksual lebih tepat dialamatkan kepada pemerintah legislatif dan eksekkutif yang telah menerapkan sistem yang ramah terhadap kejahatan seksual. Sadisnya kasus-kasus kekerasan seksual ini dijadikan alasan pemerintah untuk mengesahkan peraturan yang jutru menebar bibit  kejehatan seksual tumbub sumbur di kemudian hari. Seperti Permendikbud NO. 30 Tahun 2021 tentang Penangan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) ini  yang menuai pro kontra karena dianggap justru melegalkan seks bebas. Karena yang diancam sanksi hanyalah kekerasan seksual yang mengandung paksaan jika hubungan seksual terjadi konsensual (suka sama suka) tidak dianggap kejahatan dan menyalahi aturan.


 Aturan pemerintah yang diandalkan menyelesaikan masalah kekerasan seksual justru membuka jalan seks bebas yang kerap juga terjadi kekerasan di dalamnya bahkan  hingga paksaan aborsi hingga  berujung stres dan bunuh diri. Aturan yang justru semakin merusak kondisi ini banyak dimotori oleh para aktivis feminis yang menganggap bahwa kesetaraan gender dapat menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Cara pandang bahwa selama kaum perempuan dapat menentukan keinginan seksualnya sebagaimana kaum laki-laki yang kerap menjadi pelaku kekerasan seksual, dimana kaum perempuan bisa memilih hubungan seksual yang aman dan sehat yaitu menggunakan kondom meski melakukan seks bebas secara aktif. 


Nafas kesetaraan gender yang berasal dari ideologi sekularisme ini yang mendasari regulasi pemerintah yang justru mendorong semakin banyaknya kasus kekerasan seksual.


Sangat bertolak belakang dengan sistem aturan Islam yang mencegah peluang sekecil apapun akan terjadinya kekerasan seksual termasuk seks bebas suka sama suka (perzinaan). Sistem pergaulan dalam Islam sangat memuliakan perempuan, auratnya dijaga dengan pakaian yang sempurna, para pria diwajibkan menundukkan pandangan, keduanya dilarang berkhalwat dan berikhtilat apalagi sampai berzina maka sanksinya sangat berat. Maka untuk kejahatan seksual seperti perkosaan sanksilebih berat dan pelakunya terancam hukuman mati dan mampu mencegah masalah berulang. 


Untuk menuntaskan penanganan kekerasan seksual solusinya hanya kembali kepada sistem Islam kafah yang diterapkan dalam daulah khilafah.


Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak