Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso membeberkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp 13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton.
"Memang utang itu harus segera dibayarkan, kalau tidak pasti Bulog rugi. Utang pokok kita Rp 13 triliun, dari beras CBP yang 1 juta ton itu kan belanjanya dari utang," katanya dalam konferensi pers di Kantor Pusat Bulog, Selasa (28/12).
Pria yang akrab disapa Buwas ini menambahkan, semakin utang tak terbayar oleh Bulog ke bank, maka semakin banyak bunga yang ditanggung.
Utang dan bunga tersebut makin menggunung karena pemerintah belum membayar utang ke Bulog sebesar Rp 4,5 triliun. Utang tersebut berkaitan dengan penyediaan bantuan beras PPKM dan bansos rastra.
Buwas menuturkan, pembayarannya masih terkendala karena ada Peraturan Kementerian Sosial atau Permensos yang harus diubah, walaupun pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah siap membayar.
"Utangnya hampir Rp 4,5 triliun. Sampai saat ini negara atau melalui Kemenkeu sudah siap membayar, tapi persyaratan belum terpenuhi, ada peraturan menteri yang harus diubah jadi belum bisa disalurkan atau dibayar," ujar Buwas.
Dia pun berharap, ke depan mekanisme dan regulasi penyediaan CBP ini bisa diubah. Setelah Bulog menyediakan 1 juta ton CBP, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) langsung audit dan memastikan kualitas sudah sesuai dengan Undang-Undang.
"Begitu selesai, maka pemerintah langsung membayar sejumlah 1 juta ton. Jadi Bulog tidak ada utang, tidak ada bunga. Kita hanya menagih ke negara, mungkin transportasi kalau ada penyaluran, perawatannya kalau perlu dirawat, dan cost-cost lainnya," kata Buwas.
https://kumparan.com/kumparanbisnis/bulog-terlilit-utang-rp-13-triliun-bunga-utang-kian-bengkak-1xCbmRUBdyW
Dengan masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO tahun 1995, maka terjadilah proses liberalisasi pertanian,
Indonesia sebagai anggota WTO sekaligus negara pengekor, dipaksa membuka seluruh pasar pertanian mulai dari hulu hingga ke hilir bagi dunia internasional.
Implikasi lainnya dari AoA ini adalah dicabutnya kewenangan Bulog dalam mengatur pangan, baik dalam menjaga stabilitas pangan, melakukan impor atau pun ekspor, serta melakukan provisi subsidi. Bulog tak boleh momonopoli tata kelola pangan, akan tetapi Bulog harus berkompetisi dengan berbagai pihak termasuk korporasi asing.
Melihat kondisi demikian, Bulog tak ubahnya adalah lembaga korporasi pangan yang berorientasi untung dan rugi, pemerintah diposisikan hanya sebatas regulator dan fasilitator kemudahan investasi korporasi. Negara menjalankan roda pemerintahan seperti perusahaan yang menjalankan bisnis. Lembaga pemerintahan digiring menjadi bagian dari pelaku pasar, dengan prinsip enterpreneurial government.
Bahkan pemerintah diarahkan sebagai pengusaha, memutar modal (aset), serta menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat untuk meraih keuntungan yang digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan. Demikian wajah Bulog dalam pemerintahan neoliberal, alih-alih melayani kebutuhan pangan rakyat yang mayoritas miskin. Bulog justru berupaya membisniskan produk layanannya dengan berbagai bentuk orientasi yang diarahkan pada profit belaka.
Tak heran jika Bulog mengalami jeratan utang yang cukup besar dikarenakan sebagai lembaga bisnis, tentu Bulog sangat membutuhkan modal.
Sehingga, Bulog yang diharapkan mampu berperan penting untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan saat ini justru terkebiri oleh regulasi. Karenanya, kita membutuhkan konsep pengelolaan pangan termasuk badan pengelola pangan yang shahih dan tentunya berbeda dengan konsep neoliberal kapitalistik saat ini. Dan satu-satunya solusi yang mampu mewujudkannya adalah sistem Islam.
Penting untuk kita pahami, politik pangan dalam Islam sangat berbeda dengan politik pangan kapitalisme neoliberal. Dimana politik pangan sejalan dengan politik dalam negeri dan luar negeri Khilafah.
Di dalam negeri, politik pangan dijalankan dalam rangka mengurusi hajat pangan seluruh individu rakyat, menjamin pemenuhan baik konsumsi harian dan menjaga cadangan pangan untuk mitigasi bencana atau paceklik.
Sementara untuk politik luar negeri, politik pangan diarahkan untuk men-suport fungsi dakwah dan jihad Khilafah. Politik pangan tidak dijalankan untuk pertumbuhan ekonomi atau mengejar surplus neraca perdagangan seperti halnya dalam kapitalisme neoliberal.
Untuk mewujudkan kemandirian politik pangan, tentu meniscayakan negara dan pemerintahan independen yang lepas dari tekanan global atau keterikatan terhadap aturan lembaga internasional seperti WTO. Visi kemandirian secara defacto dan
dejure hanya ada dalam negara Islam yaitu Khilafah.
Allah melarang dengan tegas intervensi pihak asing atas kaum Muslimin. Sebagaimana firmannya :"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman,"(Qs. An-Nisa : 141).
Bulog dalam Islam (Khilafah) adalah sebagai unit pelaksana teknis fungsi negara, yakni berfungsi mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan setiap individu rakyat, menyimpan cadangan pangan untuk kebutuhan pada kondisi bencana, kebutuhan jihad, atau pun menstabilkan harga di pasar.
Bulog harus diljalankan berlandaskan prinsip Islam yang shahih, dijiwai fungsi pelayanan, dan dinihilkan dari aspek komersialisasi. Di sisi lain, Bulog merupakan perpanjangan tangan pemerintah yaitu sebagai raain dan junah, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw :"Imam (Khalifah) adalah raain (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya,"(HR. Muslim dan Ahmad).
Dalam hadist lainnya Rasulullah Saw juga menegaskan :"Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya,"(HR. Muslim).
Begitupun untuk anggarannya adalah berbasis baitulmal dan bersifat mutlak. Baitulmal adalah institusi khusus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan negara sesuai ketentuan syariat.
Berbagai pemasukan baitulmal seperti harta milik umum, jizyah, kharaj, dsb. Hal ini menjadikan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya, yakni pewujud politik ketahanan dan kedaulatan pangan.
Bersifat mutlak, artinya ada atau tidak ada kas negara untuk pembiayaan, politik ketahanan dan kedaulatan pangan wajib diadakan oleh negara. Bila dari pemasukan tetap atau rutin seperti harta milik umum berupa barang tambang yang jumlahnya berlimpah pun tak terpenuhi, maka Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer/dharibah.
Yang dipungut dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.
Namun perlu dipahami, bahwa pengelolaan pangan seperti ini hanya dapat dijalankan dengan sistem ekonomi Islam di bawah institusi Khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan keberadaan Khilafah yang akan mampu menerapkan seluruh aturan Islam termasuk sistem ekonominya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini