Oleh: Neng Ipeh
(aktivis BMI Community Cirebon)
Seperti kita tahu, kegiatan menyusui bayi baru lahir secara eksklusif selama 6 bulan adalah penting, hal ini dikarenakan ASI (Air Susu Ibu) adalah nutrisi pertama yang mengandung sistem imun terbaik bagi bayi yang baru lahir dan dilakukan sampai dengan bayi berumur dua tahun. Pada seribu hari pertama kehidupan, komponen pemberian ASI sangat penting dan dapat mendukung tumbuh kembang anak. ASI memiliki manfaat yang sangat besar untuk tumbuh kembang seorang anak. Nilai gizi tinggi yang terkandung di dalam ASI memiliki manfaat kekebalan dari berbagai macam penyakit yang tidak dimiliki oleh susu pengganti.
Tentu semua juga menyadari betapa besar eksistensi seorang ibu. Hari besar pun telah ditetapkan untuk menghormati sosoknya. Namun bagaimana pemberian ASI eksklusif dapat diberikan kepada bayi apabila memiliki ibu yang bekerja di luar rumah alias pekerja kantoran? Bagaimana apresiasi itu diberikan pada sosok ibu yang harus bekerja sambil menyusui anaknya?
Jika kita lihat, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah ASI yang selanjutnya disebut dengan Ruang ASI adalah ruangan yang dilengkapi dengan prasarana menyusui dan memerah ASI yang digunakan untuk menyusui bayi, memerah ASI, menyimpan ASI perah, dan/atau konseling menyusui ASI.
Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu disebutkan bahwa Pengurus Tempat Kerja dan Penyelenggara tempat Sarana Umum harus mendukung program ASI Eksklusif. Dukungan tersebut dapat berupa penyediaan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI, pemberian kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja, pembuatan peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif, dan penyediaan tenaga terlatih pemberi ASI. (aimi-asi.org/11/01/2022)
Perkara menyusui di ruang publik sendiri masih kerap menjadi bahan perbincangan di Indonesia. Christie Nathalia J.S., Wakil Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Cabang Yogyakarta, menyatakan bahwa menyusui di ruang publik sebenarnya bukan hal yang baru. Fenomena tersebutlah bukan tren yang baru terjadi. Menurutnya, menyusui adalah suatu hal yang alamiah dan kodrati. Payudara seorang wanita secara kodrat adalah sumber kehidupan bagi bayi. "Bila kemudian ada orang-orang atau oknum tertentu, yang memandang bahwa menyusui di ruang publik itu tidak pantas dilakukan, maka mereka memandang payudara sebagai objek seksualitas saja. Beruntunglah di Indonesia ini para bayi dan ibu menyusui dilindungi hak-haknya untuk mendapatkan ASI dan untuk menyusui," tambahnya. (motherandbeyond.id/11.01.2022)
Victoria Tahmasebi, seorang perempuan dan ahli studi gender di Universitas Toronto pun mengatakan: "Dari sudut pandang kapitalis, payudara perempuan dapat menghasilkan keuntungan sepanjang mereka diseksualisasi. Menyusui di depan publik membuat payudara perempuan kurang seksi, karena itu tidak dapat diterima," katanya. (tirto.id/11/01/2022)
Kegelisahan bagi ibu bekerja yang telah menyelesaikan cuti melahirkan selama tiga bulan adalah kurangnya waktu untuk memberikan ASI Eksklusif bagi anaknya. Ibu menyusui yang bekerja di luar rumah tentu perlu mendapat dukungan dari tempat kerjanya. Namun, di satu sisi pemberian ASI Eksklusif bagi anak belum sepenuhnya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal ini dapat dilihat dari masih sedikitnya ruang laktasi yang terdapat di kantor pemerintah maupun swasta. Waktu ibu bekerja selama delapan jam sering kali menyebabkan ibu tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menyusui anaknya.
Selain itu, di sisi lain kesempatan memerah ASI tidak diberikan secara leluasa di tempat kerja. Apalagi tidak semua ibu menyusui bisa melakukan hal serupa; nyaman memerah ASI di tempat banyaknya orang yang berinteraksi apalagi lalu lalang sana sini banyak laki-laki walaupun sudah mengenakan penutup. Belum lagi jika akhirnya terpaksa memerah ASI di toilet yang tentu kebersihannya kurang terjaga. Sebuah ironi yang entah sampai kapan akan dipelihara. Jika merokok yang membahayakan kesehatan saja diberi ruang, mengapa menyusui yang jelas-jelas membangun generasi sehat malah seperti tersingkirkan?
Terkait hal ini, peneliti postdoctoral di University of Stavanger, Birgitta Haga Gripsrud mengatakan, dalam budaya kita debat mengenai menyusui sering jadi beban emosional. Menyusui merupakan ketegangan yang kuat antara alam dan budaya, biologi dan peradaban. "Jelas ada sesuatu yang dipertaruhkan di sini. Gagasan seksualitas, feminitas dan keibuan, yang berimplikasi pada apa yang dianggap sebagai tempat perempuan dan posisi mereka di ruang publik," tuturnya. (www.haibunda.com/11/01/2022)
Islam telah mengajarkan kepada kita betapa pentingnya menyusui seorang bayi seperti yang telah tertuang pada beberapa ayat Alquran. Pun dari segi fikih, selain perhatian akan pentingnya peran menyusui bagi seorang ibu, patut dicatat bahwa kenyamanan dan keamanan saat menyusui patut menjadi perhatian. Saat menyusui, diperlukan ruang yang aman dan nyaman untuk ibu dan juga bayi. Payudara adalah aurat bagi perempuan. Kendati batas aurat untuk perempuan itu berbeda di kalangan ulama, namun payudara jelas merupakan bagian tubuh yang mesti ditutupi bagi perempuan.
Dalam menyusui, kenyamanan dan keamanan patut diperhatikan. Bagi sang ibu, tersingkapnya bagian tubuh yang mesti tertutup jelas membuat risih. Imam an Nawawi menyebutkan dalam Syarh Shahih Muslim terkait penjelasan dalam hadis terkait menutupi aurat saat buang air, membuka aurat itu hanya diperkenankan jika dalam keperluan tertentu dan dalam lingkungan tertutup, seperti mandi, buang air, atau kebutuhan pemeriksaan penyakit.
Jika berada di tengah keramaian, membuka aurat ini menjadi suatu hal yang dilarang. Dalam kitab Mughnil Muhtaj karya Imam Muhammad As Syirbini misalnya, jika di sekitar seseorang terdapat orang lain yang bukan mahram, terlebih juga berpotensi menimbulkan gangguan, maka menutupi bagian aurat adalah wajib. Terlebih terkait aktivitas menyusui, hal ini tentu kiranya perlu diperhatikan.
Sayangnya walaupun sudah ada aturan, namun pemenuhan akan kebutuhan ruang laktasi dalam dunia Kapitalis masih belum memadai karena ketidakseriusan penguasa dalam menangani masalah ini. Hal ini karena masih adanya anggapan negatif kalau itu merupakan sebuah pemborosan ruangan. Sehingga masih layakkah jika kita bertahan dengan sistem yang melihat segala sesuatunya dengan pandangan materialis seperti ini.
Tags
Opini