Oleh : Sarni Puspitasari
Jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia selalu tinggi dan semakin meningkat di masa pandemi.
Tidak hanya virus Covid-19 yang mengancam dan mengintai masa depan anak, namun kasus kekerasan dan pelecehan seksual juga masih membayangi anak- anak Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KemenPPPA mencatat hampir 2 ribu anak menjadi korban kekerasan selama pandemi Covid-19.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings, mengatakan ini hanyalah kasus yang terlapor atau mengadu. Sedangkan mereka yang tidak berani berbicara atau melapor seumpama gunung es, di mana jumlahnya lebih banyak dari ini.
Enam pelajar asal Gresik, Jawa Timur, tega merudapaksa gadis berusia 16 tahun secara bergilir.
Bahkan dua pelaku di antaranya masih di bawah umur.
Kini para remaja yang berstatus pelajar ini terpaksa menjalani hukuman akibat tindak pidana asusila yang dilakukannya, Rabu (5/1/2022).
Dari enam pelaku tersebut, berkas dakwaannya dipisah-pisah, sebab pelaku ada yang masih usia pelajar dan ada yang dewasa.
Dua pelaku yakni TP dan RDT yang masih di bawah umur mendapat hukuman penjara masing-masing tiga tahun.
Sementara, empat terdakwa yang sudah dewasa masih menjalani proses persidangan.
(www.tribunnews.com)
Seolah tidak ada habisnya kasus pemerkosaan di negeri ini, beritanya pun terus menghiasi rubrik media.
Jika kita telisik kembali ternyata masalah seperti ini tidak akan pernah muncul tanpa adanya sebab, dimana ada asap di situlah api berada. Termasuk juga dalam persoalan kejahatan seksual.
Kejahatan seksual pada dasarnya dipicu oleh hasrat dan dorongan seks yang meluap-luap dan tak mampu dibendung oleh seorang insan.
Hasrat dan dorongan seks ini lahir dari naluri seksual (gharizatu an-nau’) pada diri manusia. Naluri ini sebenarnya merupakan fitrah dalam diri manusia. Ketika naluri eksual ini bangkit makan menuntut untuk dipenuhi, yang mana jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kegelisahan.
Mari kita coba merunut akar permasalahannya. Dari sisi teknologi informasi misalnya , yang menjadi faktor terkuat terjadinya sejumlah kekerasan seksual yang berawal dari video- video porno atau panas yang diakses anak di bawah umur. Tontonan (iklan ,Film, sinetron dll), medsos, yang ada disekeliling kita masih dipenuhi dengan unsur-unsur porno.
Namun, kita tidak bisa menyalahkan teknologi. Sebab, sejatinya teknologi menjadi bagian dari wajah peradaban dunia saat ini.
Belum lagi banyaknya fakta perempuan-perempuan di mall, tempat umum ataupun di tempat-tempat kerja dan pendidikan masih leluasa/bebas membuka aurat tanpa batas.
Maka wajar pemandangan tersebut akan mengundang gejolak pada naluri seksual laki-laki untuk dipenuhi .
Sedangkan aturan yang berlaku saat ini adalah paham paham kebebasan(liberalisme), jalan inilah yang membuka pintu maraknya kejahatan seksual.
Ditambah lagi hukuman untuk pelaku seksual di negeri ini tidak tegas dan membuat efek jera.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukan bobroknya moral anak bangsa sekaligus lemahnya peran negara.
Berbeda dengan sistem Islam, dimana setiap aktivitas manusia harus terikat dengan hukum syara’.
Islam telah mengatur peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan serta memberikan panduan tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan.
Islam merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan.
Oleh sebab itulah dibutuhkan penerapan sistem Islam yang berlandaskan pada aqidah Islam.
Agar semua permasalahan kehidupan dapat diselesaikan secara menyeluruh.
Wallahu 'alam bish shawwab