Oleh : Rindoe Arrayah
Menjelang akhir tahun harga minyak goreng, cabai dan telur mengalami kenaikan yang signifikan. Ketiga komoditas bahan pokok ini diperkirakan akan terus merangkak naik hingga Januari 2022. Akan tetapi, masyarakat diminta untuk tidak terlalu khawatir karena harga-harga pangan tersebut akan kembali turun pada kuartal I-2022.
Menurut Peneliti Core Indonesia, yaitu Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah tembus Rp 100.000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30.000 per kilogram.
"Kenaikan ini sudah melewati batas psikologis tapi ini tidak perlu dikhawatirkan," kata Andreas dalam Refleksi Ekonomi Akhir Tahun 2021, Jakarta, Rabu (29/12).
Andreas menjelaskan kenaikan harga cabai ini dipicu fenomena alam la nina yang membuat para petani banyak yang gagal panen. Sementara permintaan di akhir tahun selalu tinggi, sehingga hukum ekonomi berlaku. Dia menilai puncak kenaikan harga cabai akan berakhir di bulan Januari. Kemudian di bulan Februari mulai akan turun dan harga cabai akan berangsur turun kembali.
"Mulai akhir Januari petani akan mulai panen, jadi pada bulan Februari harga mulai turun," kata dia.
Ia juga mengataka, jika kenaikan harga minyak ini terjadi karena meningkatnya permintaan kelapa sawit yang besar dari luar negeri. Ini pun menyebabkan para pelaku usaha memanfaatkan kenaikan harga komoditas untuk meraup keuntungan. Meski demikian Andreas meminta masyarakat tidak khawatir karena di tahun depan harganya akan kembali turun. Dia memperkirakan harga minyak goreng akan kembali turun pada bulan Februari. Mengingat produksi kedelai di Brazil akan mengalami panen raya, sehingga kebutuhan kelapa sawit akan menurun.
Tidak jauh beda dengan kenaikan harga telur. Bagi Andreas, kenaikan harga telur saat ini menjadi wajar karena sampai bulan November lalu produksi telur sangat berlimpah dan harganya menjadi anjlok. Meski begitu kenaikan harga telur juga akan mereda di bulan memasuki bulan Februari. Harga tersebut akan mengalami penurunan sampai puncaknya bulan April. Kemudian akan naik lagi setelahnya. Begitu pun dengan beras, hingga hari ini harganya masih saja tinggi. Beras kemasan 25 kilogram yang dulunya seharga Rp210.000, kini naik menjadi Rp265.000.
Kondisi ini tentu saja sangat memberatkan masyarakat banyak, termasuk para pelaku usaha kecil. Situasi pandemi yang tak kunjung usai telah membuat kondisi ekonomi dan daya beli mereka makin menurun dari sebelumnya. Kini ditambah dengan biaya hidup yang makin mahal. Terlebih, pada 2022 nanti ada proyeksi tentang kenaikan beberapa pos tarif listrik dan BBM nonbersubsidi. Padahal kenaikan harga kebutuhan pokok, listrik, dan BBM dipastikan akan berpengaruh terhadap tingkat inflasi. Ironisnya, kasus seperti ini terus berulang. Tiap jelang Ramadan, lebaran, dan nataru, harga-harga sembako pasti tak bisa dikendalikan.
Sangat disayangkan, meski kasus selalu berulang pemerintah tampak selalu gagap dalam menyikapi persoalan. Alih-alih menyelesaikan akar persoalan, mereka justru fokus di solusi cabang, seperti operasi pasar yang selalu jadi jurus andalan. Kasus yang berulang semestinya jadi pelajaran. Setidaknya semua bisa diantisipasi sekiranya mereka serius berpikir dan bekerja untuk memberi solusi. Tentu bukan demi citra diri sebagaimana selalu dilakukan selama ini, tetapi semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya sendiri.
Ironisnya lagi, selama ini pemerintah selalu bersikap defensif apologetis. Lalu memposisikan diri seolah selalu kena simalakama. Padahal, nyaris semua faktor yang membuat harga-harga tinggi–atau di situasi lain harga-harga pangan justru anjlok hingga merugikan petani–sangat terkait dengan kebijakan atau ranah kerja pemerintah sendiri. Misalnya, terkait politik ekonomi dan perdagangan, termasuk kebijakan impor ekspor yang diterapkan, politik perindustrian, politik pertanian, manajemen informasi, dan pendataan, serta political willterkaitterkaitterkaitterkaitterkait penegakan hukum atas pelaku kecurangan (kartel atau monopoli), dan lain-lain. Juga terkait lemahnya posisi tawar pemerintah dalam menghadapi tekanan luar akibat jebakan perjanjian internasional di bidang perdagangan.
Berbagai strategi untuk menjamin ketersediaan stok bahan pokok nasional dan stabilisasi harga memang sudah dicanangkan pemerintah. Misalnya merencanakan produksi sesuai kebutuhan nasional, membangun sentra-sentra produksi, memperbaiki distribusi, termasuk mengoptimasi dan membentuk berbagai kelembagaan dan badan kuasai negara seperti Bulog, Badan Ketahanan Pangan, Badan Pangan Nasional, dan yang terakhir dibentuknya Satgas Pangan untuk menghadapi mafia perdagangan.
Faktanya, semua strategi itu hanya eksis di atas kertas. Nyatanya, pemerintah tak mampu menjamin ketahanan pangan, apalagi kemandirian pangan. Juga gagal mengantisipasi fluktuasi harga bahan pokok di pasaran. Yang terjadi justru saling tuding antar lembaga karena tak mau disalahkan. Bahkan keberadaan berbagai varian badan dan satgas ini hanya mencerminkan buruknya birokrasi pemerintahan dan bertentangan dengan target efisiensi anggaran.
Dalam sistem ini, kekuasaan faktanya hanya menjadi alat mewujudkan kepentingan kelompok atau partai politik. Apalagi mekanisme pemilihan ala demokrasi menjadikan biaya politik menjadi mahal, sehingga kontestasi kepemimpinan pun tak ubahnya seperti praktik bisnis dan perjudian. Wajar jika aroma bagi-bagi kue kekuasaan dan kapitalisasi sektor-sektor kebutuhan publik termasuk sektor pangan atau bahan kebutuhan pokok demikian menyengat di berbagai kebijakan yang dicanangkan. Tak hanya dari kapitalis lokal, tapi juga dari kaum kapitalis global. Sementara atas persoalan menyangkut rakyat kebanyakan, negara justru kerap lepas tangan, atau memberi solusi secara asal-asalan.
Berbeda halnya dengan paradigma Islam. Pemerintah atau negara sejatinya adalah pelayan sekaligus pelindung umat, bukan pebisnis atau pedagang. Mereka wajib memastikan bahwa kebutuhan umat dan keamanan mereka terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana wajib pula bagi mereka memastikan kedaulatan dan kemandirian negara tetap terjaga. Tak ada kepentingan yang menempel dalam kekuasaan Islam selain harapan beroleh keridaan Allah Swt.. Karena dalam Islam, kepemimpinan adalah alat penegak hukum-hukum Allah, yang amanahnya akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Melalui pelaksanaan hukum-hukum Allah inilah, kesejahteraan dan keadilan di tengah umat akan bisa diwujudkan. Karena hukum-hukum Allah ini memberi solusi komprehensif atas seluruh problem manusia, termasuk urusan jaminan pangan dan jaminan berusaha bagi rakyatnya, orang per orang. Oleh karena itu, semua hal yang menghambat terjaminnya kebutuhan pangan dan jaminan berusaha, seperti proses produksi, rantai pasok, atau distribusi pangan, termasuk munculnya fluktuasi harga yang memberatkan, akan diselesaikan secara mengakar. Yakni melalui strategi politik ekonomi, termasuk perdagangan, industri, dan pertanian yang menjamin kemandirian dan kedaulatan. Begitu pun peluang munculnya pihak-pihak yang mencari keuntungan di atas penderitaan masyarakat akan di tutup rapat-rapat.
Produksi pangan misalnya, akan digenjot sesuai kebutuhan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi lahan pertanian. Tidak ada lagi alasan yang menyebabkan suplai kebutuhan terhambat, bahkan tergantung sepenuhnya pada impor sehingga mendongkrak harga barang di pasaran. Ikhtiar ini tentu akan didukung penuh oleh negara. Antara lain melalui penerapan sistem pertanahan dalam Islam yang mengharuskan optimalisasi penggunaan lahan sesuai potensinya. Juga didukung dalam bentuk dukungan pembinaan dan permodalan yang dimungkinkan karena negara menerapkan sistem ekonomi dan keuangan Islam.
Begitu pun ketersediaan kebutuhan bahan pokok yang lainnya. Negara akan mendorong produksi melalui strategi politik industri yang mengoptimasi seluruh sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian, tak ada alasan bagi negara untuk bergantung pada produk asing yang tak jarang menjadi jalan penjajahan dan intervensi. Adapun celah-celah penyelewengan, seperti kapitalisasi dan monopoli akan ditutup dengan penerapan sistem sanksi dan peradilan Islam yang dikenal tegas. Sehingga kasus kezaliman yang lumrah terjadi dalam sistem sekuler ini tak mungkin merebak dalam sistem yang menerapkan aturan-aturan Islam.
Sistem Politik Islam juga menjamin kemandirian dan kedaulatan negara tegak sempurna. Sehingga negara tak akan mudah tunduk pada tekanan internasional yang dibuat melalui diktum-diktum perjanjian yang hakikatnya merupakan alat penjajahan. Kita tak bisa berharap kondisi akan berubah menjadi baik manakala hukum Allah belum tegak sempurna. Bahkan sistem yang ada, yakni sistem sekuler kapitalisme neoliberal akan terus memproduksi kerusakan yang menjauhkan masyarakat dari cita-cita hidup sejahtera.
Karena itu, sudah saatnya masyarakat menyadari pentingnya perubahan ke arah Islam. Tentu dimulai dengan amal dakwah yang targetnya memahamkan Islam sebagai solusi hidup, bukan semata sebagai agama ruhiyah yang mengajarkan urusan akidah, ibadah, dan akhlak saja. Inilah jalan perubahan yang dicontohkan Rasulullah saw. sehingga beliau berhasil membangun masyarakat Islam yang ideal, yang dilanjutkan dari generasi demi generasi hingga belasan abad.
Sepanjang sejarah peradaban Islam itulah, kita mendapati contoh terbaik sistem pemerintahan yang dibutuhkan manusia. Di mana pengurusan urusan umat berjalan demikian sempurna sehingga umat bisa merasakan hidup sejahtera dan penuh berkah di bawah naungannya. Untuk itu, sudah sepantasnya hanya kepada syariat-Nya kita jadikan sebagai landasan bagi pengaturan dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab.