Oleh :Ummu Khielba
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Indonesia terancam krisis energi listrik akibat kelangkaan pasokan batu bara di pembangkit PLN, baik PLTU maupun Independen Power Producer (IPP). Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.
Kebutuhan akan batu bara global yang terus meningkat mengakibatkan harga batu bara global kian melambung. Hal tersebut tentu tidak ingin dilewatkan begitu saja oleh perusahaan pemasok batu bara. Ratusan perusahaan pemasok batu bara beramai-ramai mengekspor sumber energi fosil tersebut demi meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan peraturan pemerintah dalam memasok jumlah batu bara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).
Hingga akhir 2021, hanya terdapat 85 perusahaan yang telah memenuhi DMO batu bara sebesar 25 persen dari rencana produksi tahun 2021. Dari 5,1 juta metrik ton penugasan pemerintah, hingga 1 Januari 2022, hanya terpenuhi 35 ribu metrik ton, atau kurang dari 1 persen (suara.com).
Pemerintah sudah menyoroti ketidakpatuhan puluhan perusahaan tersebut. Sejak 2021 lalu, bahkan sudah memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak tertib. Namun, lagi-lagi sanksi tersebut tidak menimbulkan efek jera sama sekali.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menetapkan dalam menghadapi krisis batu bara yang menerpa PT PLN (Persero), yakni melalui transformasi PLN, mulai dari restrukturisasi direksi, membuat subholding Power Plant atau pembangkit dan mendorong keberlanjutan transisi energi baru terbarukan (EBT) yang sejalan dengan komitmen zero emission 2060.
Faktor mendasar krisis energi listrik bukan karena menipisnya eksplorasi batubara tetapi karena tata kelola sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara namun diserahkan pada pihak swasta.
Keserakahan kekuasaan memgakibatkan eksplorasi yang tidak memperhatikan akibat jangka panjang dari pengerukan kekayaan. Wajar terjadi di era kapitalistik liberalis yang kemudian apapun dijadikan manfaat keuntungan sepihak dan akhirnya rakyatpun terkena imbasnya.
Fasilitas negara berupa sumber energi pembangkit listrik yang seharusnya diberikan secara gratis oleh negara harus dibayar mahal, otomatis berefek pada pos pengeluaran skala rumah tangga yang menjadi kebutuhan primer. Negara lepas tangan bahkan menaikkan daya dan mencabut subsidi. Sungguh terlalu.
Dalam tata kelola, terjadi perombakan manajemen PLN dan peta jalan menuju energi, hal ini bukan solusi hakiki. Selagi pola hidup yang diterapkan masih kapitalis dengan dominasi swasta dalam pengelolaan sumber daya alamnya, maka ancaman krisis energi tak akan mampu teratasi dengan baik dan benar. Alih-alih mengutamakan pemenuhan kebutuhan rakyat, hal yang ada adalah pengabaian kebutuhan rakyat karena tidak akan memberikan keuntungan apa pun bagi pihak swasta.
Pengelolaan listrik dalam sistem pemerintahan Islam mutlak oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Umat membaiat Khalifah yang kemudian terikat akad wakalah atau perwakilan. Inilah yang memposisikan pemerintah sebagai pengatur urusan rakyat, termasuk kebutuhan listrik.
Islam memandang listrik sebagai bagian dari energi (an-naar) yang merupakan kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda, “Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR Ibn Majah).
Ketegasan seorang khalifah akan menjaga kepemilikan umum dan akan dikelola oleh ahlinya dan menerapkan teknologi tepat guna, tidak akan membiarkan pengelolaan oleh pihak swasta apalagi asing. Melimpah ruah sumber bahan baku energi yang akan mensuplai kebutuhan masyarakat tanpa bayar karena kebutuhan primer.
Jika peran negara sesuai dengan fungsinya, yakni mengurus dan mengelola laksana sorang penggembala menjaga gembalaannya. Penguasa sekaligus pengusaha, melihat kekayaan dari sisi keuntungan pribadi. Berbeda dengan pemimpin kaum muslimin, harta dan jiwa dikorbankan demi terwujudnya kesejahteraan ummat.
Wallahu a’lam Bishowab
Tags
Opini