Oleh: Yuke Octavianty
(Komunitas Pejuang Pena Dakwah)
Santernya kabar ujaran kebencian yang menyeret nama Ustadz Tanah Air kembali berulang. Habib Bahar Smith dikabarkan tengah berhadapan dengan proses penyidikan karena kasus ujaran kebencian yang dilakukannya dalam ceramahnya yang menyudutkan Presiden Joko Widodo yang viral November silam (tribunnews.com, 19/12/2021).
Dalam ceramahnya, Habib Bahar juga menyebutkan bahwa Jokowi sebagai pengkhianat negara dan rakyat Indonesia.
Tak hanya kasus ujaran kebencian, Habib Bahar pun tersandung kasus dengan TNI, yang juga viral (suara.com, 1/1/2022). Kasus perdebatan yang menyinggung KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman. Hingga akhirnya, Habib Bahar didatangi di tempat kediamannya di Bogor oleh Danrem 061/Surya Kencana, Brigjen Ahmad Fauzi. Inti masalahnya, Habib Bahar bin Smith diminta untuk menjaga ucapannya saat berceramah. Namun, Habib Bahar tak terima. Alasannya, pemimpin yang salah memang harus diingatkan.
Kritik sosial adalah salah satu penjamin berjalannya pemerintahan yang amanah. Namun, jika kritik sosial ini dibungkam, tentu akan melahirkan emosi rakyat yang tak terkendali. Karena penyebab utama dari timbulnya kritik adalah penyelewengan atau penyimpangan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan umat.
Negara sekuler, menyajikan kehidupan yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sungguh, prinsip seperti ini adalah prinsip batil dalam kehidupan. Sekulerisme, meniscayakan kesengsaraan. Karena dalam sistem ini, pemimpin negara dengan sesuka hati dapat berlaku dzolim kepada rakyatnya. Tanpa peduli aturan agama.
Syariat Islam mengatur segala aspek kehidupan. Termasuk pengaturan penyelenggaraan negara. Agar pelaksanaannya amanah. Sesuai syariah. Secara alamiah, pasti hasilkan sejahtera pada umat.
Syariah Islam pun membolehkan adanya kritik sosial dalam penyelenggaraan negara. Rakyat memiliki kewajiban mengingatkan penguasa, jika melanggar syariat dan berkhianat pada umat.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya,
“Sebaik-baik jihad adalah kalimat keadilan (mengungkapkan kebenaran) di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim.” (HR. Ibnu Majah).
"Jihad yang paling besar pahalanya itu sungguh perkataan yang hak yang mengena untuk pemimpin yang zalim". (HR At-Tirmidzi).
Mengkoreksi penguasa adalah cara umat untuk mengingatkan dan mengembalikan kebenaran dalam kehidupan. Namun, dalam sistem yang rusak, aktivitas ini dipandang sebagai pembangkangan. Bahkan ada juga yang menilai sebagai tindakan radikal. Padahal, mengkoreksi penguasa adalah salah satu tugas mulia. Untuk mengembalikan ketenangan di sisi umat.
Kritik sosial hanya dapat efektif jika dilakukan dalam sistem yang shahih. Islam-lah satu-satunya sistem yang shahih. Penguasa dan umat adalah sepasang elemen pembangun, yang harus saling melengkapi dan mengingatkan. Dan ini hanya dapat terwujud dalam Khilafah manhaj An Nubuwwah. Sebagaimana teladan Rasulullah SAW mencontohkan bagi seluruh umat dunia.
Wallahu a'lam bisshowwab.