Moderasi Berbulu Toleransi


Oleh: Edah Purnawati


Dilansir dari Fajar.co.id, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis menyebut mengucapkan selamat Natal itu boleh.


“Mengucapkan selamat Natal itu boleh dalam kontek saling menghormati dan toleransi,” ucapnya. Pendapat tersebut ia sampaikan di laman twitter pribadinya, Jumat (17/12/2021).


Selain dari MUI, parpol Islam pun nampak mendukung kebijakan ini dengan menyatakan tidak ada larangan tegas dari syariat untuk mengucapkan selamat.


Dan ini pun menegaskan bahwa makin masifnya kebijakan pro moderasi (MB) dan membuktikan bahwa program MB telah nyata mendorong kaum muslim untuk meremehkan urusan prinsip agama bahkan yang berkaitan dengan akidah. 


Seolah-olah Moderasi ini dibalut lembut, agar kaum muslimin menerima dengan suka rela dan tidak menyadari bahaya dari Arus Moderasi ini yang pelan-pelan menyerang akidah umat islam. Sama halnya dengan racun yang di balut oleh madu. 


Dan munculnya Moderasi Beragama ini lahir dari rahim sekulerisme. Dimana sekulerisme ini adalah pemisahan agama dari kehidupan. Secara sederhana, paham ini mengakui keberadaan agama, tapi hanya sebatas ibadah ritual saja dan sebagian muamalah.


Moderasi Beragama itu bukanlah antitesa dari radikalisme, Moderasi beragama juga bukanlah upaya memoderasi agama, tetapi memoderasi pemahaman dan pengamalan umat beragama. Yang artinya dalam cara pandang, sikap dan praktek beragama harus mentaati konstitusi dalam berbagai kesepakatan berbangsa.


Dan tujuan dari moderasi beragama ini yaitu untuk mewujudkan kemashlahatan bagi kehidupan beragama, berbangsa, untuk mencapai indonesia maju. Namun, semua ini tidak lepas dari asas sekularisme yang memang terus Barat deraskan.


Tapi apakah dengan agama dijadikan sebagai konstitusi tidak membuat indonesia maju? Apakah dengan menjauhkan aturan agama dari kehidupan berbangsa ini adalah solusi agar indonesia maju?


Justru islam itu memiliki aturan yang smpurna dan paripurna. Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah saja, tapi dalam bertata negara pun islam mengaturnya, dan Islam mengajarkan kita untuk ta'at terhadap Allah dan RasulNya. Yaitu sesuai dengan Al-Quran dan As-sunnah.


Jika kita telisik lagi, sebenarnya islam jelas telah melarang kita untuk tidak menyerupai kebiasaan dari umat agama lain. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : "Man tasyabaha bi qouman fahuwa minhum" yang artinya "Barangsiapa yang menyurupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka".


Jelas syariat telah mengatur terkait dengan pelarangan dalam mengucapkan selamat terhadap hari raya agama lain. Arus sekularisme yang terus mengalir seiring modernisasi pada akhirnya melahirkan moderasi beragama, ide yang menggiring umat membenarkan pemahaman beragama ala Barat. Tidak hanya itu, kaum muslim mendapat ruang untuk mengutak-atik ajaran agamanya sendiri berdasarkan tafsir pribadi. 


Dengan mengkaji secara mendalam, bisa kita simpulkan bahwa moderasi beragama menggiring umat menggali hukum yang tidak sesuai dengan kaidah ijtihad yang syar’i karena landasan dalam penafsirannya berdasarkan pendapat yang bersandarkan pada akal/hawa nafsu. Hal ini juga menunjukkan lemahnya riayah negara dalam urusan ijtihad syar’i. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak