Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Tingkah polah para penista agama, akhir-akhir ini justru makin berani. Mereka seolah bebas teriak apa saja tanpa rasa malu apalagi merasa bersalah dan berdosa. Masih sangat jelas bagaimana mereka menodai kesucian ajaran agama seperti ajaran tentang jilbab, jihad, khilafah, adzan, dan lain sebagainya. Mereka juga dengan bangga membuat narasi miring bahwa adzan tak semerdu lagu kidung. Ada yang mencoba membandingkan keindahan jilbab dengan tusuk konde. Ada yang menuding bendera Tauhid sebagai radikal. Ada juga yang senang tak ada lagi suara takbir. Mereka pun dengan lantang menghina Nabi Muhammad SAW. Bahkan yang paling mutakhir, mereka berani menghina Allah dengan mengatakan Allah lemah, na’udzubillah.
Seperti diketahui, Ferdinand Hutahaean ditetapkan sebagai tersangka setelah cuitannya soal 'Allahmu Lemah' yang viral di media sosial. Cuitan tersebut diunggah nya di akun Twitter pribadinya, @FerdinandHaean3 pada 4 Januari 2022. (www.tribunnews.com, 11/01/2022)
Miris, penistaan terhadap ajaran agama (Islam) dan simbol-simbolnya, seolah tiada henti di Negeri ini. Dimana teriakan bahwa negara ini adalah negara yang berpancasila dengan hukum sebagai panglima? Mengapa pula, lambat penanganan hukum terhadap mereka yang jelas menista?
Kalau kita renungkan, kondisi ini tidak lepas dari semakin kuatnya sistem sekuler yang ada di negeri ini. Cara pandang yang makin sekuler, tentu akan semakin berupaya meminggirkan peran agama dalam kehidupan. Agama hanya diposisikan untuk mengatur urusan pribadi, seputar urusan makan – minum, berpakaian, ibadah ritual dan sebagian pernikahan. Itu pun masih dikomentari agar tak terlalu fanatik alias jangan terlalu taat pada aturan agama. Kalau berpakaian jangan terlalu taqwa, apalagi terkesan bawa-bawa simbol agama.
Sistem kehidupan sekuler ini sebenarnya sudah dilakukan di era penjajahan Belanda dengan memisahkan hukum agama dan hukum Publik. Hingga kini kita kenal dengan istilah peradilan agama dan peradilan umum. Untuk urusan privat (Nikah, cerai, waris) boleh menggunakan hukum agama dan tunduk pada peradilan agama. Sedangkan dalam urusan bermasyarakat dan bernegara harus menggunakan hukum kolonial dan tunduk pada peradilan umum.
Dengan kondisi yang demikian, maka wajar jika penghormatan terhadap ajaran agama menjadi rendah. Karena dipandang terpisah dari urusan dunia, sementara saat ini kita sedang hidup di dunia. Selanjutnya akan dengan mudah mengeluarkan narasi penistaan dan penghinaan terhadap agama. Disinilah benih-benih para penista itu mulai tumbuh, hidup dan berkembang. Sementara masyarakatpun, menganggap hal ini biasa, karena mereka telah dicekoki pemahaman HAM yang kebablasan
Selanjutnya tentang penegakan hukum. kebanyakan para penista agama dihukum ringan. Hanya sekitar 1-2 tahun saja. Sebagaimana kasus Ahok yang menistas Ayat suci al Quran (al maidah ayat 51), ia divonis 2 tahun penjara. Itu pun melalui proses hukum yang panjang dan penuh liku. Harus didorong dengan aksi umat islam berjilid-jilid hingga kini populer dengan istilah aksi 212. Bagi para terduga penista yang lain, semisal Paul zhang, Ade Armando, Deni Siregar, Sukmawati, abu Janda, dan yang lainnya, tampaknya belum bisa tersentuh hukum. Hukum belum menemukan supremasinya, masih berada di tangan orang yang punya kuasa.
Hal ini tentu berbeda jauh dengan penegakan hukum dalam sejarah islam. Para penista agama akan dihukum berat bahkan sampai dihukum mati. Sehingga jika dihukum mati maka peluang untuk mengulangi perbuatannya jadi tertutup, karena sudah mati. Orang yang sudah mati tak mungkin mengulangi perbuatan lagi. Bagi yang masih hidup tentu akan menjadi pelajaran penting agar tak menjadi penista agama karena bisa dihukum mati.
Dan yang tidak bisa diabaikan adalah faktor lemahnya para pemimpin. Ketika para penista menghina agama, banyak para pemimpin yang justeru mendiamkannya. Padahal rakyat merindukan pemimpin yang tampil gagah perkasa dan menyatakan perang terhadap para penista agama. Jika ada pemimpin yang darahnya mendidih ketika melihat baliho atau marah besar jika atasannya dihujat, semestinya ia lebih marah jika ada yang menista agamanya.
Maka, dalam kondisi seperti ini, selain terus mempertanyakan dan menggugat kemampuan negara berpancasila untuk menyelesaikan kasus penistaan agama, umat harus bahu membahu untuk terus menasehati penguasa agar tidak hanya diam saat ada penistaan agama. Umat harus besuara, yang dengan kekuatannya hukum bisa ditegakkan. Semoga Allah mengampuni kita atas ketidakmampuan kita menghilangkan penistaan terhadap kemuliaan Islam. Semoga Allah segera memberikan pertolongan, agar umat ini mendapatkan kembali pelindungnya dan tak lagi dinista. Semua itu, hanya mungkin jika Islam tegak dalam bingkai negara. Wallahu a’lam bi ash showab.