Marak Tikus Berdasi, Demokrasi Suburkan Korupsi?

 



Oleh Daneen Mafaza
( Aktivis Muslimah Banua)

Tikus berdasi, itulah sebutan bagi pejabat korup yang meraup harta rakyat. Pasalnya mereka adalah pejabat negera yang berpendidikan namum miskin moral.

Sepanjang tahun 2021 misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani deretan kasus korupsi. Kasus itu melibatkan para pejabat kepala daerah yang meliputi Gubernur dan Bupati atau Wali Kota.

Dilansir dari liputan6.com (20/12/2021) Plt Juru bicara KPK Ali Fikri menyatakan “ Tahun ini, sampai dengan November 2021, KPK mencatat telah menangani 101 perkara dengan 116 pelaku”. Menurut Ali, penanganan perkara korupsi yang ditangani lembaga antirasuah pada tahun ini lebih banyak dari tahun 2020, KPK menangani 91 perkara dengan 110 tersangka.

Melalui OTT (Operasi Tangkap Tangan) sejumlah nama pejabar terjerat hukum diantaranya ; mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Mantan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, Mantan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin, Mantan Bupati Kuantan Singingi Andi Putra dan Mantan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono (Suara.com, 25/12/2021).

Korupsi adalah problem serius di negeri ini. Kasus korupsi menjamur dari berbagai tingkat pemerintahan. Mulai dari elit politik, pejabat di provinsi, instansi tertentu sampai kepala daerah dan perangkat desa. Seakan terjadi regenerasi koruptor, virus korupsi adalah penyakit akut di negeri ini. Padahal Indonesia notabene adalah mayoritas penduduk muslim.

Penanganan korupsi dinegeri ini bukan tidak ada. Bahkan setiap tahun selalu rilis data melalui KPK terkait kasus korupsi. Baik perkara maupun tersangka. Hal ini menandakan bahwa kerja KPK sebagai badan pemberantasan korupsi masih berlangsung. Pertanyaannya adalah kenapa kasus korupsi masih subur ?. Bahkan setiap tahun mengalami peningkatan. Artinya ada satu regulasi yang kacau di negeri ini sehingga menyuburkan tindak korupsi.

Melihat fakta korupsi yang membudaya, maka tidak lepas dari kebiasaan dan sistem hukum positif negeri ini. Tindak para koruptor yang selalu berulang menjadi kebiasan karena sistem hukum yang mandul. Kita tentu masih ingat dengan sejumlah nama pejabat tersangka koruptor. Mereka dipenjara dengan sederet fasilitas mewah. Sungguh regulasi pemberantasan yang kacau. Pemalak uang rakyat  justru diberikan fasilitas mewah lagi lengkap. Bagaimana mungkin koruptor akan jera ? Justru semakin membudaya.

Dalam sistem  politik demokrasi  memutus rantai korupsi adalah sesuatu yang mustahil. Sebab, mahar politik dalam sistem demokrasi memerlukan biaya yang mahal. Biaya mahal ini meniscayakan peluang terjadinya korupsi. Pemenang pilkada tentu berfikir keras dalam mengembalikan modal politik. Apalagi jika modal dari pinjaman pengusaha. Tidak heran tikus berdasi muncul dari kalangan elit politik, pejabat negara sampai kepala desa. Lebih dari itu penguasa sendiri adalah perpanjangan dari pengusaha.

Seperti lirik lagu yang populer beberapa tahun silam, "lucunya di negeri ini hukuman bisa di beli” bukan sekedar lirik . Itulah kiranya sistem hukum dalam demokrasi negeri ini. Dalam demokrasi sangat mudah mengubah hukum sesuai kepentingan. Maka hukum terhadap kasus korupsi mudah di manipulasi atau bahkan dibeli. Mulai dari pengembalian uang korupsi hingga masa tahanan yang mendapat kompensasi. Terbukti bahwa sistem demokrasi anak dari idelogi kapitalis sekuler bukan solusi justru pangkal dari krisis moral negeri ini.

Tentu ini sangat berbeda jauh dari sistem Islam yang agung. Korupsi adalah perbuatan buruk lagi tercela dan dilarang di dalam Islam. Dalam Al-Aquran Allah SWT berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang  bathil dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakai sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”(al-Baqarah: 188).

Oleh itu Islam memiliki perangkat aturan yang terbukti mampu mencegah dan memberantas tindak korupsi. Tindak korupsi termasuk ghulul yaitu pengkhianatan amanah umat. Dilihat dari tindakannya maka korupsi termasuk dalam aksi pencurian yang harus di beri hukuman yang berat. Korupsi dalam Islam mendapatkan sanksi berupa ta’zir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya berupa hukuman yang ringan hingga berat. Mulai dari nasihat, denda, pengumuman pelaku dihadapan publik, hukuman cambuk hingga paling berat hukuman mati. Sanki ditentukan sesuai dengan tingkat kejahatan yang diperbuat. (Muslimah Media Center).

Islam mampu menangani masalah korupsi dari pencegahan hingga pemberantasan. Pencegahan misalnya, Islam akan memberikan tunjangan pejabat negara sesuai kebutuhan. Sehingga tidak ada celah atau alasan untuk korupsi. Islam juga mempermudah dalam pemilihan kepala daerah yang di tunjuk oleh khalifah. Syarat kepada daerah yaitu jujur, bertaqwa dan amanah adalah beberapa yang menjadi pertimbangan khalifah.

Diwan Al-Musadirin misalnya, adalah lembaga pemeberantasan korupsi masa Khilafah Abbasiyah (750-1258). Khalifah Jafar Al Mansur mendirikan lembaga khusus tersebut untuk menangani kasus suap dan korupsi. Tradisi ini terus berlanjut hingga masa khilafah Utsmaniyah dengan mendirikan lembaga serupa. Tugasnya adalah melaporkan pos harta pejabat negara. Dalam beberapa kasus diberikan sanki pengasingan hingga hukuman mati untuk kasus yang besar.

Demikianlah, hanya sistem islam yang mampu memberantas korupsi. Baik berupa pencegahan ataupun pemberantasan.

Wallahu’alam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak