Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)
Dalam sebuah utas yang viral di Twitter, warganet menyambut positif kebijakan kurikulum prototipe Kemendikbudristek. Namun, sebagian juga mempertanyakan dampak kebijakan tersebut pada kesenjangan pendidikan. Jangan-jangan kurikulum itu hanya bisa diterapkan oleh sekolah-sekolah yang memang sudah bagus?
Pertanyaan serupa juga mengemuka dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikbudristek beberapa minggu yang lalu. Meski mendukung konsep kurikulum prototipe, beberapa anggota Komisi X berpesan agar penerapannya tidak justru melanggengkan kesenjangan mutu antar sekolah dan daerah.
Kesenjangan pendidikan antar wilayah dan antar kelompok sosial-ekonomi di Indonesia memang besar dan diperparah oleh pandemi. Berdasarkan riset kami bersama Inovasi, kerugian belajar (learning loss) akibat pandemi terjadi secara tidak merata.
Setelah 1 tahun pandemi, hasil belajar literasi dan numerasi siswa di wilayah timur Indonesia tertinggal sekitar 8 bulan belajar dibanding mereka yang tinggal di wilayah barat. Siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar, seperti buku teks, tertinggal 14 bulan belajar dibanding mereka yang memilikinya. Sementara itu, siswa yang ibunya tidak bisa membaca bahkan tertinggal 20 bulan belajar dibanding mereka yang ibunya bisa membaca.
https://news.detik.com/kolom/d-5873029/kurikulum-dan-kesenjangan-pendidikan.
Kesenjangan pendidikan antar wilayah dan kelompok sosial-ekonomi di Indonesia memang sangat besar, bahkan makin diperparah dengan pandemi yang menggiring pada kondisi learning loss terhadap anak didik. Kesenjangan pendidikan ini sebenarnya mencerminkan dampak sistem yang diterapkan oleh sebuah negeri. Dimana sistem pendidikan tak bisa berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan sistem ekonomi dan politik. Pasalnya, dari diterapkannya sistem ekonomi-politiklah kebijakan pembangunan, pemerataan, distribusi kekayaan, produksi, dan akses layanan publik lainnya pun diputuskan.
Seperti yang dipahami secara umum, di negeri ini terjadi polarisasi daerah. Ada daerah yang sangat maju dan masif pembangunannya, terutama di kota-kota besar. Sebab daerah seperti ini memiliki potensi dieksploitasi kekayaanya atau sebagai jalur poros distribusi barang dan jasa. Sehingga salah satu dampaknya, daerah seperti ini memiliki akses pelayanan publik yang mudah didapat dan lebih maju, termasuk perihal pendidikan.
Namun, ada pula daerah yang begitu tertinggal yang lebih dikenal dengan istilah 3T yakni terbelakang, terpencil, dan tertinggal. Kondisi daerah ini begitu miris karena pembangunan nasional tak menyentuh mereka, bahkan masyarakat yang tinggal di daerah ini cenderung bergantung dengan alam karena jauh dari akses pelayanan publik, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.
Maka tak heran, jika hasil survei Kemendikbudristek pasca pandemi makin menguak ketimpangan pendidikan yang terjadi.
Tak hanya daerah 3T saja yang mengalami diskriminasi pendidikan, sekalipun tinggal diperkotaan masih juga terdapat masyarakat yang tak mampu mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah berkualitas karena terjadi liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan, oleh karena itu kualitas pendidikan akan berkorelasi dengan kondisi ekonomi-sosial mereka. Inilah masalah yang timbul akibat penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Sistem yang hanya berorientasi pada profit pihak tertentu yakni para korporat bukan bertumpu pada kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, jika solusi yang ditawarkan masih sekedar perubahan kurikulum, tanpa mengubah mindset sistem yang mengurus kebutuhan publik, maka solusi ini tidak lain hanyalah solusi tambal sulam semata yang tidak mampu menyelesaikan akar masalah sesungguhnya. Tentu sangat berbeda dengan sistem Islam yakni Khilafah tatkala mengurus urusan rakyatnya. Sistem Khilafah dibangun dari paradigma yang shahih yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Rasulullah Saw Bersabda :"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya,"(HR. al-Bukhari).
Maka untuk menjamin kesejahteraan tiap individu warga negaranya, Khilafah akan menerapkan kebijakan ekonomi syariah. Dimana dampak kebijakan ekonomi syariah adalah akses kebutuhan dasar publik seperti pendidikan akan didapat dengan kualitas yang sama dan gratis oleh siapapun baik itu warga negara yang beragama Islam maupun kafir dzimmi, orang kaya maupun miskin, perkampungan, atau perkotaan semua akan mendapat kualitas yang sama.
Hal ini disebabkan layanan publik dalam sistem Islam tak akan dikomersialisasi dan diliberalisasi. Oleh karena itu, semua yang terkait dengan penyelenggaraan layanan publik mutlak menjadi tanggung jawab negara. Mulai dari sarana dan prasarananya, guru-gurunya, media pembelajaran, tunjangan pendidikan, baik untuk siswa dan pengajarnya. Untuk menunjang itu semua, pembangunan dalam Khilafah akan dipastikan merata di semua daerah sekalipun daerah tersebut merupakan daerah kampung yang terpencil tak akan kesulitan untuk mengakses pendidikan sebagai salah satu kebutuhan dasar publik.
Bahkan, di masa Khilafah terdapat guru-guru yang sengaja dikirim untuk melayani warga negaranya yang nomaden (pengembara). Lembaga pendidikan juga banyak berdiri, antara lain : Nizamiyah di Baghdad, al-Azhar di Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali Afrika. Masing-masing memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu.
Kebijakan ekonomi syariah yang akan menopang agar kebutuhan publik (pendidikan) dapat disediakan gratis dan berkualitas, salah satunya dari pengaturan bahwa kekayaan SDA tidak boleh dikuasai individu atau swasta. Kekayaan alam harus dikelola oleh negara dan hasilnya dimasukan ke kas Baitul Mal pos kepemilikan umum. Dari pos ini, Khilafah mampu membiayai pelayanan publik secara gratis dan berkualitas.
Selain itu, dalam Khilafah juga akan menjamin kebutuhan pokok masyarakat dengan memastikan tiap kepala keluarga mendapatkan pekerjaan, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi keluarga tanpa kekurangan.
Inilah bukti keberhasilan yang dilakukan Khilafah dalam menyediakan layanan pendidikan sebagai bagian dari jaminan kesejahteraan pada rakyat.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini